Dapatkah Media Sosial Ganggu Kesehatan Mental?

0

Media sosial saat ini menjadi tempat menuangkan berbagai hal, mulai dari hal positif hingga hal yang negatif. Sebagai pengguna media sosial tentu kita harus bisa lebih bijaksana dalam menanggapi dua hal tersebut. Memilih mana yang pantas, dan mana yang tidak pantas. Semua hal tersebut sangat berpengaruh dan berdampak bagi kondisi mental atau psikologis kita.

Berkembangnya media sosial membuat penduduk di dunia jadi lebih terhubung dari sebelumnya. Namun, ketergantungan media sosial memberikan efek yang merugikan pada kesehatan mental. Meskipun beberapa platform media memiliki manfaatnya sendiri, tapi menggunakannya terlalu sering ternyata bisa berbahaya.

Seminar Bersama GEMA (SEMASA) 2020 sesi 3 yang digelar Sabtu (13/6) melalui Google Meet, menghadirkan seorang konten kreator, salah seorang dari tim Petualangan Menuju Sesuatu bernama Christopher Kevin Susandji. Konten yang diterbitkan oleh Petualangan Menuju Sesuatu adalah serial web komik yang menyebarkan kesadaran tentang kesehatan mental melalui kisah petualangan karakter Jelly Jingga.

Berikut ini alasan mengapa media sosial memberikan dampak  negatif menurut Petualangan Menuju Sesuatu.

Membuat Kecanduan

Media sosial memberikan efek ‘rewardisasi’ kepada otak penggunanya. Hal ini bisa dilihat dari setiap kali kita mendapatkan likes atau  followers, otak akan mengeluarkan hormon dopamin yang menimbulkan perasaan rewarding, dan membuat kita merasa senang. Bahayanya, reward ini tidak ditemukan di dunia nyata. Hal ini berkaitan dengan pleasure karena pada semua media sosial, rewardisasi menjadi sebuah fitur utama. Sebenarnya sistem ‘rewardisasi’ inilah yang memicu rasa kurang puas terhadap diri sendiri, dan tentunya berbahaya bagi mental.

Fitur ini tidak nyata karena hanya berupa angka, tetapi kebiasaan ini sudah menjadi budaya dari setiap pengguna media sosial untuk kepuasaan diri sendiri. Persepsi yang menyatakan bahwa “Banyak likes atau followers menandakan seseorang itu sangat disukai,” sudah melekat di pikiran pengguna media sosial. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan kecanduan akan timbal balik yang dibayangkan, dan rasa ingin diapresiasi dengan cara terus menerus mengunggah agar mendapatkan  perhatian publik.

Jika semua hal itu tidak lagi mendapatkan perhatian publik yang maksimal, maka kondisi emosi seseorang akan berubah. Prioritas hidup pun bergeser menjadi berorientasi kepada media sosial. Kemudian hal ini dapat memicu kesedihan yang mendalam karena tidak mendapatkan sesuatu sesuai yang diharapkan. Efek dari kecanduan ini juga bisa dirasakan ketika kita tidak bisa mengakses media sosial untuk beberapa waktu. Maka, muncul rasa kesepian, dan keresahan yang mendalam baik secara mental, pikiran, dan perasaan.

Christopher Kevin Susandji sedang tanya-jawab bersama peserta SEMASA 2020. Foto: Dok. Pribadi

Memicu Kesedihan dan Kekhawatiran

Kalau sebelumnya kita membahas soal rewarding, bagaimana jika suatu saat kita tidak mendapatkan apresiasi dari publik atas apa yang kita unggah?

Hal ini sangat memicu emosional diri, dan kekhawatiran jika sebelumnya seseorang merasa senang atas pujian dari media sosial yang didapat kemudian berganti menjadi hal negatif. Tentu akan muncul pertanyaan di dalam diri.

“Kenapa aku dibenci?”

“Kenapa aku tidak disukai?”

“Kenapa aku tidak mendapatkan pujian?”

Lalu muncul rasa insecurity dan anxiety dalam diri yang berakhir dengan overthinking terhadap diri sendiri. Kemudian mulai berpikir negatif bahwa diri memiliki kekurangan, dan sebagainya. Dari sini, bisa dilihat bahwa media sosial memiliki dampak merugikan yang sangat signifikan dalam kesehatan mental.

Hal ini juga memberikan pengaruh hidup di dunia nyata dengan teman ataupun keluarga. Muncul konflik dalam diri kita yang mengakibatkan stress, perasaan gundah, dan yang paling berbahaya adalah kesehatan mental kita akan menurun.

Dikutip dari artikel oleh Alice Walton tentang pengaruh lama penggunaan media sosial yang mana semakin lama manusia menghabiskan waktu di media sosial, maka mereka akan semakin terisolasi secara sosial.

Budaya Saling Membandingkan

Beberapa tokoh publik terlihat sempurna di media sosial. Hal ini membuat kita membandingkan realita diri dengan unggahan orang lain di media sosial yang jauh terlihat lebih baik. Kemudian muncul perasaan bahwa kita lebih buruk daripada orang lain. Karena hal itu, yang kita inginkan adalah pembuktian dengan cara mengatur self image kita di hadapan publik media sosial sedemikian rupa sehingga orang hanya melihat dan beranggapan sisi bagusnya saja.

Semua itu sebenarnya tidak salah jika kita ingin tampak baik di hadapan publik. Namun, kita tidak bisa menyangkal apabila ada seseorang yang lebih baik. Jika hal ini terlalu berlebihan, dapat mengakibatkan munculnya sifat perfeksionisme yang berlebihan, dan dapat menimbulkan Social Anxiety Disorder.

Memberi Pengaruh Buruk

Sebagai pengguna media sosial kita tidak boleh terlalu berlebihan mengagungkan siapapun di media sosial. Karena pada dasarnya mereka juga sama seperti kita, hanya manusia biasa. Kita harus sadar di luar sana ada beberapa bad influencer, informasi salah, dan hoaks. Ada baiknya kita belajar untuk memfilter media sosial kita dari hal-hal toxic. Misalnya dengan cara menghindari orang-orang yang membuat kita merasa iri atau kurang percaya diri.

Reporter: Zahra Fazriati B.

Editor: Zahrah Muthmainnah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *