Katanya kecantikan itu bukan segalanya, tapi mana pernah barang jelek dipilih kalo ada barang yang lebih bagus.  At the end of the day, emang fisik yang paling utama.

***

Menjadi seorang remaja yang sedang menghadapi masa puber itu sulit banget, rasanya ketika kita mematut diri di depan cermin yang kita lihat hanya seonggok daging dengan banyak kekurangan dimana-mana.

Photoshop sudah jadi keahlian bagi semua anak remaja, terutama untukku, seorang perempuan berusia 15 tahun yang sangat peduli dengan fisiknya. Apabila kalian melihat media sosial punyaku, followers ku tidak sampai 500. Aku pernah memposting fotoku setelah ku permak habis-habisan, dan berakhir dengan  hanya mendapat 140 likes.

Aku memang bukan orang yang terlahir cantik, bukan juga orang yang terlahir menarik dan itu yang membuatku sedikit minder ketika berjalan di lorong sekolah, yang bisa kulakukan hanya menunduk dan sesegera mungkin pergi ke kelas.

“Ala!” aku menoleh ke belakang, melihat bidadari, maksudku temanku, yang memanggilku dari jauh. Kulit mulusnya, hidung mancungnya, mata indahnya, memang tidak ada yang sempurna di dunia ini tapi bagiku Nandi, temanku, adalah definisi nyaris sempurna.

“Hai” balasku ketika dia sudah berdiri di sebelahku.

“Baru dateng?” tanyaku basa-basi, jelas sekarang masih pukul setengah 7 pagi sedangkan sekolah masuk pukul setengah 8.

Raut wajahnya langsung berubah murung, seolah-olah dia bocah lima tahun yang permennya baru saja ku ambil. “Tadi Raka maksa buat berangkat bareng, dia ada rapat osis soalnya” katanya.

Aku hanya mengangguk-angguk saja membalas segala keluhan yang keluar dari mulutnya, tidak terlalu tertarik, atau mungkin lebih ke iri? Karena aku tidak pernah merasakan hal seperti itu sama sekali. Lagipula siapa pula yang mau dengan perempuan seperti aku, cantik tidak, putih tidak, tinggi juga tidak.

“Nan, lo duluan aja ke kelas gue mau pipis dulu soalnya.” kataku dengan cengiran diakhir, Nandi yang sedaritadi berceloteh berhenti dan memanyunkan bibirnya

“Nanti gue ke kelas sama siapa dong ?” katanya.

“S-sendiri ?” kataku lebih seperti sebuah pertanyaan, aku mau pergi ke toilet dulu mana bisa aku membagi diriku menjadi dua untuk mengantarnya ke kelas dengan kloningan diriku.

“Yahh yaudah deh, btw La muka lo masa belang. Kan udah gue bilang kalo lagi ekskul pake sunblock biar ngga item, terus coba deh pake liptint, bibir lu kayak perokok, item.”

Aku hanya tertawa hambar, sudah biasa aku diberikan ‘masukan’ seperti ini oleh Nandi. “Ah iya nanti gue bilang nyokap dulu minta beliin.” kataku sekenanya

“Yaudah kalo gitu gue duluan ya.” katanya dan berlalu begitu saja.

Kalau bukan teman rasanya sudah ingin ku caci maki si Nandi itu, tapi sebenarnya dia ada benarnya juga, muka dan pergelangan tanganku belang, bibirku sudah seperti perokok. Wajar tidak ada yang mau dengan perempuan seperti aku.

“Woi La jangan ditengah jalan.” kata orang dibelakangku,  Reza dengan segala tumpukan kertas dan buku ditangannya.

“Eh sini, Ja, gue bantuin,” kataku dan mengambil setengah beban ditangannya “lo mau ngapain dah kok bawa beginian banyak amat ?” tanyaku.

“Makasih ya, lah lo ngga tau sekolah kita bentar lagi ngadain pensi? Dan stres banget gue jadi ketua divisi acara mesti ngurusin ini itu mana anggota gue sering cabut-cabutan semua lagi” jelasnya emosi.

Kami berjalan ke ruang tempat rapat anggota osis.

“Gue taroh dimana, Ja?” tanyaku.

Reza menunjuk sudut ruangan dengan dagunya, “Taroh situ aja, La, makasih banyak ya.”

“Selaw,” balasku.

Kemudian aku pergi ke kamar mandi, karena tadi sempat tertunda. Sesampainya di kamar mandi, aku berkaca pada cermin besar.

Aku memerhatikan wajahku sendiri di depan cermin, “Kalau diliat-liat, iya sih. Muka gue ngga ada cakep-cakepnya, mana kusam banget.”

Aku mencuci wajahku, agak kasar, kemudian menepuknya—lebih seperti menampar untuk membuat air yang berada di wajah menjadi kering.

“Coba gue cakepan dikit. Pasti gue bakalan punya kisah cinta seindah orang-orang.”

Kemudian perhatianku turun kepada bibirku. Bibir ini hitam, turunan keluarga. Terlihat seperti seorang perokok, padahal aku anti dengan asap rokok.

Aku tersenyum mengejek. Masih menatap pantulan diriku di depan cermin.

“Ngga ada yang mau terlahir jadi jelek.”

Suara pintu kamar mandi yang terbuka menginterupsi kegiatan bercerminku.

“Ala? Lama banget di kamar mandinya. Gue kirain kenapa-kenapa,” syukurlah. Ternyata itu cuma Nandi.

“Iya tadi gue bantuin Reza dulu angkatin kertas-kertas ke ruang rapat,” jelasku.

“Nan,” panggilku.

Nandi menoleh, sambil menyelipkan rambut di telinganya, “Hm?”

“Rasanya jadi orang cantik itu gimana, sih?”

Oke, aku akan terlihat semakin menyedihkan sehabis ini.

Terlihat keterkejutan dari wajah Nandi, “Kok nanyanya gitu?”

“Ngga, ngga jadi. Lupain aja.”

Kemudian aku melangkah keluar kamar mandi, mendahului Nandi.

“Lo penasaran rasanya jadi cantik, atau penasaran rasanya jadi perhatian orang-orang?” tanya Nandi. Dari nada bicaranya tidak ada emosi. Datar.

“Lebih tepatnya penasaran akan perlakuan baik dari orang-orang,” kataku seraya tersenyum, sinis.

Untungnya, aku memunggungi Nandi, sehingga dia tidak dapat melihat raut wajahku yang menyedihkan ini.

“Gue capek dikomentarin ini itu, kesannya penampilan gue sampah. Standar kecantikan cuma bisa bikin hidup gue susah,” lanjutku.

“Ala, ngga gitu…” Nandi mendekat ke arahku.

“Ngga apa-apa, Nandi. Mungkin emang gue yang ngga bakal bisa memenuhi standar kecantikan.”

Aku berbalik dan menatap Nandi, “Mungkin gue akan cantik kalau standar kecantikan lebih turun sedikit?”

Bukan salah Nandi, bukan juga salah mama dan papa yang membuat aku terlahir seperti ini. Standar kecantikan yang membuat semuanya menjadi buruk.


Penulis: Siti Aliya Azzahra

Sumber Gambar: Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *