Majelis Pengkhianat Mahasiswa?

0

Semenjak virus corona (atau yang istilah kerennya Covid-19) melanda bumi pertiwi, kita menyaksikan masyarakat menghadapi berbagai problematika hampir di semua elemen kehidupan. Sejak bulan Februari 2020 hingga kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan oleh pemerintah, pembicaraan kita di rumah, kampus, tempat nongkrong, sampai media sosial seperti grup WhatsApp keluarga pun masih membahas tentang virus ini. Pembahasannya mulai dari teori konspirasi virus ini hingga kelalaian pemerintah Indonesia dalam mengatasi virus ini.

Mungkin banyak dari kita yang sedikit banyak telah menyelisik tentang kelalaian pemerintah dalam menghadapi situasi yang extraordinary ini. Kali ini kita akan mengingat dan membahas kembali, namun bukan hanya melihat dari lingkup pemerintahan Indonesia. Kami mencoba mengajak pembaca melihat dari lingkup yang lebih kecil, yaitu tempat kami menimba ilmu, Politeknik Negeri Jakarta. Lembaga formal mahasiswa tertinggi di Politeknik Negeri Jakarta, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), ternyata melakukan banyak kelalaian dalam menyikapi situasi ini. Kami mencoba untuk membandingkan kelalaian yang dilakukan pemerintah, khususnya legislator kita di Indonesia, dengan legislator kami di Politeknik Negeri Jakarta. Sebagaimana mahasiswa yang sudah semestinya berpikir kritis dan inovatif, mari kita selisik lebih dalam.

Kita sama-sama tahu bahwa pemerintah Indonesia kurang responsif dalam menghadapi situasi selama pandemi ini. Sejak awal masuknya virus ini ke Indonesia, pemerintah banyak mengeluarkan statement yang kontraproduktif tanpa mengeluarkan kebijakan yang tepat pada masa awal pandemi. Sebagai contoh, DPR memilih untuk terus membahas RUU Omnibus Law dibandingkan membuat kebijakan yang solutif di masa pandemi ini.

Sekarang mari kita lihat dari kinerja MPM PNJ dalam menyikapi situasi ini. MPM dinilai lalai dalam menyikapi situasi pandemi ini. Indikasi kelalaian tersebut dinilai dari tidak adanya kebijakan apapun yang dikeluarkan semenjak Surat Edaran Nomor 6/PL3/HK.04/2020 tentang Upaya Kewaspadaan dan Pencegahan Penyebaran Infeksi Covid-19 di Lingkungan Politeknik Negeri Jakarta dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2020. MPM PNJ baru pada tanggal 17 Mei 2020 mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 003/SK/MPM PNJ/V/2020 tentang Periodisasi Kepengurusan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Periode 2019/2020 Serta Batas Waktu Pelaksanaan Pemilihan Raya Ikatan Keluarga Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Tahun 2020.

Bila berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan Pemira mulai dari pembentukan panitia hingga terpilihnya Ketua Lembaga Formal Kemahasiswaan (LFK) dalam kondisi normal tanpa pandemi biasanya dilaksanakan sekitar bulan April–Juni. Dari sini kami menilai bahwa tidak adanya persiapan yang matang dari MPM PNJ untuk menjalankan tugasnya selama masa pandemi ini.

Setelah membedah Surat Keputusan tersebut, kami melihat banyak kejanggalan dari beberapa pasal yang ada. Di antaranya dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berisi :

Pasal 2 ayat 1

“Periode kepengurusan MPM, BEM, dan HMJ yang seharusnya berakhir pada tanggal 5 Agustus 2020 diperpanjang sampai dengan batas tanggal 31 Oktober 2020”

Pasal 2 ayat 2

“Pelaksanaan Pemira IKM PNJ 2020 diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 30 September 2020”.

Terlihat sangat jelas bahwa ada ketidaktuntasan proses pengkajian dalam memutuskan hal-hal di saat krusial seperti ini. Dengan ditetapkannya perpanjangan masa periode hingga 31 Oktober 2020, MPM PNJ seperti tidak mempertimbangkan masa kuliah Ketua BEM dan Pengurus MPM sendiri yang saat ini berada pada tingkat akhir perkuliahan. Juga mengingat belum dikeluarkannya TAP/peraturan tentang pelaksana tugas dari Ketua Umum yang telah habis masa kuliahnya, hal ini akan menyebabkan vacuum of power dalam keorganisasian kita.

Mungkin kawan-kawan telah mengetahui jika Ketua Umum serta beberapa BPH BEM PNJ telah lulus dan menyelesaikan sidangnya beberapa pekan lalu. Kita patut bersyukur atas kelulusan tersebut, karena kelulusan merupakan tujuan dari dimulainya perkuliahan. Sejatinya yang kita risaukan adalah siapa yang akan menggantikan posisinya ketika dalam waktu dekat para petinggi ini dinyatakan lulus oleh Politeknik Negeri Jakarta? Padahal, di dalam AD/ART jelas tertera bahwa mahasiswa yang telah lulus atau sudah tidak menjadi anggota IKM PNJ tidak dapat menjabat di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif kampus  (ART Bab II Pasal 6 ayat 1 dan Bab III Pasal 10, Pasal 22, Pasal 31, Pasal 39).

Tidak sebatas itu saja, bila kita melihat proses dikeluarkannya Ketetapan MPM PNJ Nomor 19/TAP/MPM PNJ/VI/2020 tentang Tata Tertib Sidang Pleno Daring Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta pada tanggal  16 Juni 2020, seharusnya pengesahan ketetapan tersebut dilaksanakan secara langsung atau tatap muka. Perubahan sistem dari tatap muka ke sistem daring baru akan ditetapkan pada sidang tersebut, tetapi sidang tersebut sudah dilaksanakan dengan sistem daring. Jadi, keputusan tata tertib sidang secara daring dilakukan sebelum tata tertib sidang pleno daring ditetapkan. Sungguh aneh bukan?

Kali ini kita kilas balik pada kinerja DPR yang kurang maksimal dalam menyelesaikan produk hukum yang mereka rencanakan. Banyak sekali RUU yang masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas, tetapi berbagai RUU tersebut tak selesai dalam satu atau dua periode DPR menjabat. RUU tersebut akhirnya diturunkan kepada DPR periode berikutnya. Bila kita lihat di tahun 2017, DPR hanya menyelesaikan 6 RUU dalam setahun, di tahun 2018 hanya 5 RUU, dan di tahun 2019 hanya 14 RUU dari 55 RUU Prolegnas Prioritas. Hal ini menjadi perbincangan, karena ada beberapa RUU yang penting untuk disahkan tetapi sangat alot pembahasannya. Hal ini mengakibatkan banyak kasus terjadi karena RUU tersebut belum disahkan.

Bila kita bandingkan dengan apa yang terjadi di PNJ, ada pula produk hukum dasar yang belum juga tuntas pengkajiannya dari beberapa periode MPM PNJ sebelumnya. Kita sama-sama tahu bahwa amandemen AD/ART ini sangatlah mendesak. Anehnya, kali ini MPM PNJ membuat produk hukum yang bertentangan dengan AD/ART itu sendiri. Seperti dalam Ketetapan MPM PNJ Nomor 020/TAP/MPM PNJ/VI/2020 tentang Pemilihan Raya Ikatan Keluarga Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (Bab V Pasal 35 ayat 2 dan 3) yang berisi:

2. Peserta Pemira Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum BEM adalah pasangan calon yang dipilih secara langsung oleh seluruh anggota IKM PNJ.

3. Peserta Pemira Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum HMJ adalah pasangan calon yang dipilih secara langsung oleh seluruh anggota IKM PNJ di masing-masing jurusan.

Seakan ingin mengeluarkan produk yang baru agar terlihat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Surat Ketetapan ini justru membuka kesadaran kita akan ketidakpahaman MPM terhadap hierarki dari aturan yang dibuatnya dan memperkuat urgensi dari Amandemen AD/ART itu sendiri. Letak kejanggalan itu terlihat dari dimasukkannya Wakil Ketua BEM/HMJ menjadi peserta Pemira yang bertentangan dengan ART Pasal 62. Padahal, di dalam AD/ART sudah tertera dalam Pasal 24 ayat 1 dan Pasal 40 bahwa yang dipilih adalah Ketua BEM/HMJ. Kali ini, MPM PNJ membuat sendiri contoh kasus yang terjadi karena belum tuntasnya pembahasan tentang AD/ART itu sendiri.

Terlebih lagi dalam penyelesaian masalah Pemira PNJ yang tidak bisa dilaksanakan semestinya. MPM PNJ memaksa pelaksanaan Pemira PNJ 2020 dilakukan secara daring tanpa menyodorkan mekanisme dari Pemira daring itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwasanya gambaran Pemira daring tidak bisa digambarkan secara konsep oleh MPM PNJ dalam pelaksanaan yang bersifat LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) dan menutup kemungkinan untuk diundurnya Pemira PNJ pada saat KBM telah berlangsung.

MPM justru membebankan mekanisme pelaksanaan tersebut kepada PO (Project Officer) terpiih. Mekanisme pelaksanaan tetap mengikuti Ketetapan Pemira No. 20 yang mana pelaksanaannya tidak secara daring. Hal ini mungkin akan menyulitkan apabila di kemudian hari terjadi kerancuan dan timbul masalah.

Dari beberapa kelalaian dan kejanggalan dalam pembuatan kebijakan serta perbuatan pemerintah (khususnya DPR), kita bisa menilai bobroknya kinerja DPR dalam menjalankan fungsinya. Hal ini sampai membuat kebanyakan publik menilai dan menyatakan bahwa DPR adalah Dewan Pengkhianat Rakyat. Apakah dari yang telah diuraikan di atas tentang kelalaian dan kejanggalan kinerja dari MPM PNJ, bisakah MPM PNJ kita sebut sebagai Majelis Pengkhianat Mahasiswa?

Teks: Samuel Fredi & Tirta Lelono

Penyunting: Zikra Mulia Irawati

Sumber Ilustrasi: Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *