“Bubur ayam diaduk paling enak. No debat!”

“Bubur ayam ga diaduk lebih enak, aesthetic lagi. Diaduk bikin ga selera makan. Valid, no debat!”

Aku menatap jengah perdebatan dua temanku itu, Kiara dan Saras. Ini hanya bubur. Harganya hanya sepuluh ribu seporsi. Aku yakin sekali setelah ini mereka akan saling mendiamkan. Aku mendengus, kekanakan sekali, batinku. Aku tidak percaya hubungan pertemanan di depanku ini ternyata hanya seharga satu porsi bubur ayam yang hanya akan berujung menjadi kotoran setelah mereka makan.

“Aduh, sudah kenapa, sih? Dilihat orang, tuh!”

Mereka masih saja berdebat.

“Laksmi, kalau kamu tim mana?” tanya mereka kepadaku secara tiba-tiba.

“Kalian lupa aku ga suka bubur ayam?” jawabku setelah selesai mengunyah. Mereka menatap sebungkus nasi uduk yang sedang aku makan lalu menepuk dahi. Keduanya kecewa karena gagal mendapatkan pendukung.

“Buruan habisin terus pulang, yuk! Badan aku lengket, mau mandi,” kataku.

Pagi ini, kami bersepeda di alun-alun. Mumpung hari Minggu ceritanya. Setelah lelah, kami memutuskan untuk beristirahat di lapak pedagang makanan yang berjualan di sekitar alun-alun. Ada banyak pilihan makanan di sini, seperti bubur ayam yang diributkan dua temanku itu, nasi uduk kesukaanku, aneka minuman, dan masih banyak lagi. Memang aneh, sih, setelah membakar kalori malah menimbun kalori. Namun, bagiku yang bersepeda dengan tujuan melepas kejenuhan, sepertinya hal itu sah-sah saja. Lagipula, gemuk ataupun kurus, yang penting aku sehat.

Kembali lagi ke dua temanku. Sekarang, mereka memakan bubur masing-masing dalam diam. Mungkin mereka lelah berdebat? Lagipula, bubur itu mereka beli dengan uang mereka masing-masing. Diaduk atau tidak diaduk merupakan preferensi masing-masing. Kalau dipikir-pikir, hal itu tidak merugikan satu sama lain juga.

“Yuk, pulang. Bubur aku sudah habis nih, tinggal bayar. Buruan, Saras,” kata Kiara masih sewot.

“Iya, ini aku juga sudah habis. Sabar kenapa?” Saras ternyata sama sewotnya.

Selesai memastikan barang kami tidak ada yang tertinggal, kami pun bergegas menuju penjual nasi uduk dan bubur ayam yang gerobaknya bersebelahan untuk membayar.

“Aduh, ramai banget lagi. Mi, tunggu bentar ga apa-apa, ya?” Kiara bertanya.

“Iya, santai aja,” jawabku.

Benar sih, gerobak bubur itu ramai sekali oleh pembeli. Tidak heran, bubur ayam dengan gerobak yang bertuliskan “Bubur Ayam Mang Tole” ini memang terkenal dengan cita rasanya yang enak dan harganya yang murah. Aku melihat penjual bubur ayam itu sedang kewalahan menyiapkan pesanan para pembeli.

“Mang, bubur ayam satu. Ga pakai daun bawang, ya.”

“Mang, bubur ayam tiga. Satu ga pakai kacang, terus satunya ga pakai sambel. Nah, satu lagi jangan kebanyakan kuah kuning.”

“Mang, bubur ayam dua. Satu makan di sini, satu lagi dibungkus, ya.”

Pesanan itu datang hampir bersamaan. Permintaan para pembeli beragam juga ya. Hebatnya, abang penjual bubur yang kutaksir berusia 40-an itu hanya menjawab dengan satu kata,

“Siap…!”

Hmm, ingatan penjual bubur ayam sekeren itu, ya, kagumku di dalam hati. Aku pun mengamati tangannya yang dengan cekatan menyiapkan satu per satu pesanan itu.

Berselang sepuluh menit, kerumunan pembeli itu mulai berkurang. Kedua temanku lalu mendekati gerobak untuk membayar.

“Mang, mau bayar. Tadi kami pesen bubur ayam dua sama teh hangat dua. Jadinya berapa?” tanya Saras

“25 ribu, Teh,” jawab si Amang.

Saras lalu menyerahkan uang patungannya dengan Kiara kepada amang penjual bubur itu. Biar sekalian, katanya.

“Mang, kalau minggu emang ramai banget gini ya?” tanyaku penasaran.

“Alhamdulillah iya, Teh. Biasanya jam sembilan baru habis, tapi kalo hari Minggu belum jam delapan bisa tinggal beres-beres. Kayak sekarang ini,” jelasnya sambil membereskan barang-barang di atas gerobaknya.

“Omong-omong, Amang pusing ga, sih, kalo yang beli banyak terus pesenannya beda-beda gitu? Ih, aku mah pasti pusing banget, da,” Kiara nimbrung.

“Pusing atuh, Teh. Ya tapi harus disyukuri karena masih banyak orang yang beli. Kalau masalah pesanan beda-beda, ya itu sudah risiko pekerjaan. Selera orang harus dihargai, ‘kan?”

“Setuju. Tau ga, sih, Mang? Tadi dua temen saya ini berantem gara-gara bubur diaduk sama ga diaduk coba,” aku menimpali dengan berapi-api sambil menyindir kedua temanku.

Mereka secara otomatis kompak melotot ke arahku.

“Hahaha. Waktu lagi ramai-ramainya, Amang sampai pusing dengar banyak pembeli debat masalah itu,” kini ia berbicara sambil mengelap mangkuk.

“Kalau Amang tim mana?” tanya Kiara.

“Amang, mah, mana aja jadi. Menurut amang, bubur ayam itu harusnya jadi makanan yang bikin kita belajar toleransi,” ungkap si Amang. Sepertinya acara beres-beresnya sudah selesai, setidaknya yang ada di depan mata.

“Hah, gimana ceritanya, Mang?” kami bertiga penasaran.

“Bahan pelengkap bubur ayam itu banyak ‘kan, Teh? Umumnya tuh ada ayam, kacang, kuah kuning, kuah kecap, kecap, daun bawang, bawang goreng, sate tusuk, sambal, sama kerupuk. Itu belum ditambah sama yang punya pelengkap tambahannya sendiri. Dengan komponen sebanyak itu, mustahil banget semua orang yang makan bubur punya selera yang sama. Kayak teteh-teteh aja nih, satu suka diaduk, satu ga. Daripada debat masalah beda selera bubur ayam, kenapa orang-orang bukannya saling menyapa, wah suka bubur ayam juga. Gitu ‘kan lebih adem dilihatnya, apalagi kalo makannya di sini hehehehe…”

Kedua temanku itu tertawa lalu saling memukul pundak, biasa, ciri khas perempuan kalau tertawa. Mungkin mereka akhirnya menyadari tindakan kekanakan mereka tadi.

“Berarti kayak kita hidup di Indonesia juga, ya, Mang? Daripada saling mencela orang suku A begini, orang suku B begitu, kenapa kita ga saling bersatu terus bilang, ini loh kita orang Indonesia. Daripada dijadiin bahan berantem, perbedaan pasti lebih asyik kalo kita jadiin alat buat memperkuat negara ini. Setuju, ga?” Saras menanggapi.

“Setuju!” kami berseru kompak.

“Duh, keren, euy, bisa temu benang merahnya. Kenapa atuh tadi malah berantem sama temennya kalau sudah tau?”

“Dia, tuh, mancing-mancing saya. Saya mah anak baik,” Saras kembali ke mode sewotnya.

Yeu, saya juga anak baik kali. Tadi saya keinget aja sama status WhatsApp orang yang pernah saya lihat. Eh, dia malah dengar terus kepancing. Maaf deh,” suara Kiara kini sedikit melunak.

“Iya, iya. Aku juga minta maaf, ya,” Saras juga mulai melunak.

“Ya udah. Amang kayaknya mau beres-beres lagi, deh. Pulang, yuk. Makasih ya, Mang. Seru, deh, jadi belajar toleransi dari Mang Tole,” ajakku kepada Kiara dan Saras.

“Ih, lucu ada rimanya. Belajar toleransi dari Mang Tole,” seru Kiara.

“Memang Tole itu asalnya dari kata toleransi, sih, Teh. Saya baca kata itu di koran dan ternyata artinya bagus. Ya sudah, deh, saya jadiin nama buat di gerobak.”

“Berarti Tole bukan nama asli Amang?” tanyaku spontan.

“Bukan, hehehe,” Mang Tole terkekeh.

“Terus nama asli Amang siapa?” tanya Saras.

“Rahasia,” katanya jenaka.

Kami semua tertawa. Mungkin Mang Tole punya alasan tersendiri untuk merahasiakan namanya. Aku dan kedua temanku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi.

Sebelum benar-benar pergi, Kiara kembali bersuara.

“Mang, awas itu tas kecilnya ketinggalan,” katanya sambil menunjuk tas kecil seukuran ponsel tapi terlihat sedikit lebih tebal tergeletak di pinggir ember untuk mencuci mangkuk.

“Oh iya. Hampir aja barang penting ini ketinggalan. Makasih ya, Teh,” ujar Mang Tole.

Barang penting? Ponsel? Apa mungkin Mang Tole ini masih menggunakan ponsel jadul yang kalau jatuh bisa membuat lantai rusak itu? Ah, tidak tahu deh. Yang jelas, benda di dalam tas kecilnya itu kutaksir ukurannya kurang lebih sebesar ponsel yang kusebutkan tadi.

Setelah itu, kami benar-benar pulang. Menurutku, obrolan tadi seru sekali. Hal sesederhana bubur ayam saja bisa membuat kita belajar nilai hidup yang paling mendasar, toleransi. Aku jadi teringat peristiwa intoleran antarumat beragama yang terjadi baru-baru ini. Andai saja nilai mendasar dari toleransi benar-benar dipahami oleh masyarakat negeri ini, pasti negara ini tidak hanya damai, tetapi juga menjadi kuat.


Kontributor: Zikra Mulia Irawati

Penyunting: Fairuz Zahra

Sumber ilustrasi: Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *