Tuai Pro dan Kontra, Ini Sederet Fakta Mengenai ChildFree
Memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan dari pernikahan. Namun, banyak orang yang belum memiliki anak karena berbagai alasan, seperti menunda momongan atau mempunyai masalah kesehatan reproduksi. Di luar dari alasan tersebut, ternyata ada sejumlah pasangan suami istri yang mendeklarasikan diri untuk menikah tanpa memiliki anak atau childfree.
Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada orang yang memilih tidak memiliki anak serta tempat atau situasi tanpa anak. Memilih untuk childfree dilakukan secara sadar dan bukan dikarenakan ada masalah yang membuat pasangan suami istri tidak bisa memiliki anak.
Istilah childfree sudah ada sejak akhir abad ke-20 dan meluas bersamaan dengan berkembangnya paham liberalisme di seluruh penjuru dunia. Bagi warga negara-negara Eropa atau Amerika, keputusan untuk childfree bukanlah hal asing. Namun, keputusan ini menuai sederet pro dan kontra di Indonesia.
Psikolog Help Center dan konselor IAC (Indonesia Association Counseling), Nuzulia Rahma Tristinarum, menegaskan tak ada yang salah dari keputusan tidak memiliki anak atau childfree. Ada banyak faktor yang mendasari keputusan tersebut, termasuk persepsi yang terbentuk dari pergaulan hingga pengalaman traumatis.
Berikut beberapa faktor seseorang tak ingin memiliki anak alias childfree:
- Persepsi yang terbentuk dari pergaulan.
- Pengalaman traumatis (diperlakukan tidak baik saat menjadi anak).
- Kondisi medis berisiko memiliki anak.
- Kesepakatan bersama pasangan.
- Belum siap menjadi orang tua, fokus dengan karir, dan menikmati kehidupan sendiri.
Keputusan untuk childfree didasarkan pada berbagai macam alasan, seperti khawatir tidak bisa memberikan fasilitas yang layak untuk anak, keuangan yang mepet, pekerjaan yang mengharuskan berpindah-pindah lokasi, lingkungan yang tidak memungkinkan, dan sebagainya. Namun, keputusan tersebut kemungkinan akan memunculkan stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga yang dapat menimbulkan tekanan sosial bagi pasangan. Masa depan mereka akan dianggap suram, dinilai egois, dan berpikiran bahwa mereka hanya bersenang-senang saja.
Sesungguhnya, childfree tidak ada sangkut pautnya dengan tingkat keegoisan. Hanya karena pasangan childfree ingin hidup bahagia tanpa terbebani anak, tidak otomatis membuatnya lebih mementingkan diri sendiri ketimbang orang lain. Mereka sama seperti jutaan manusia lainnya, yang membedakan hanya pola pikirnya saja.
Pasangan childfree merasa bahwa alangkah egoisnya mereka bila memaksa untuk punya anak, tetapi kondisinya masih serba kekurangan. Apalagi, membesarkan anak membutuhkan tanggung jawab, perhatian, fasilitas, dan biaya yang luar biasa besarnya. Sebenarnya, nyaris mustahil pasangan childfree bisa lepas dari penilaian egois. Tidak bisa dihindari, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah dengan mengontrol diri sendiri.
Sekali lagi, memlih untuk childfree merupakan urusan privasi pasangan yang semestinya tidak dicampuri orang lain. Namun, apabila gagasan childfree menjadi tren yang menulari pikiran banyak orang, negara perlu mengambil perhatian serius. Dengan semakin kecilnya angka kelahiran, fase bonus demografi di Indonesia akan semakin cepat berakhir dan jumlah penduduk usia tua akan semakin mendominasi.
Penulis : Immanuel Aprilio
Penyunting : Sevilla Nouval Evanda
Foto : Freepik