Nepotisme Makin Merekah, Patutkah Dianggap Hal yang Lumrah?
Sebagian dari masyarakat sudah tak asing lagi dengan istilah nepotisme. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Secara sederhana nepotisme dilakukan agar dapat memberikan jabatan, akses, fasilitas kepada keluarga, teman maupun kerabat terdekat dan mengesampingkan kepentingan bersama.
Nepotisme sudah marak terjadi sejak masa orde baru yang menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Para aktivis dengan semangat menggaungkan tolak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sangat merebak pada masa itu. Namun, bukan berarti berakhirnya orde baru berakhir pula praktik nepotisme.
Faktanya, sampai sekarang pun nepotisme sudah menjadi sebuah “tradisi” bagi bangsa ini. Bagaimana tidak? Makin melebarnya nepotisme sehingga masyarakat menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
Praktik Nepotisme tidak hanya dilakukan di dunia politik saja, tetapi tak jarang ditemukan dalam dunia kerja. Dalam lingkungan kerja, nepotisme mengakibatkan hilangnya motivasi, kepercayaan diri, merasa terasingkan, dan terhambatnya inovasi karyawan. Nepotisme dapat lahir di berbagai tempat maupun kondisi. Sama seperti korupsi, nepotisme sulit diberantas dan keduanya sama-sama menimbulkan dampak negatif bagi bangsa.
Pada akhirnya nepotisme dapat membawa seseorang ke dalam tindakan korupsi. Hal ini menyebabkan terhambatnya pembangunan negara, khususnya pembangunan ekonomi dan kemunduran kondisi politik bangsa.
Makin merajalelanya praktik nepotisme menambah kental pula dinasti politik yang berhasil dibangun. Nepotisme berhasil membuat koneksi kekerabatan terkesan lebih penting daripada persaingan yang sehat dengan diimbangi kompetensi. Alhasil hanya tokoh elit politik serta penguasa yang mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Memang tidak ada salahnya, siapa pun dapat menjadi pemimpin ataupun menduduki jabatan tinggi. Dengan catatan memiliki kemampuan yang mumpuni dan tidak sekadar mengumbar janji sebab kasus praktik nepotiseme yang marak ditemukan tidak menyejahterakan rakyat melainkan hanya orang-orang dengan kepentingan tertentu.
Demi tercapainya masa depan yang lebih baik, nepotisme harus diberantas walaupun sedikit demi sedikit. Dapat dipungkiri jelas tidak mudah untuk memberantas praktik nepotisme yang sudah lama mengakar kuat. Maka dari itu, sebagai warga negara harus lebih cermat untuk mengetahui dampak dari praktik nepotisme jangka pendek maupun jangka panjang.
Penulis: Alifirgy Kanaka
Penyunting: Margareth Srinauli
Foto: iStock