Dampak Fenomena Fast Fashion Saat Hari Raya

Foto: Unsplash

Gemagazine – Fenomena fast fashion dapat didefinisikan sebagai produk industri garmen (pakaian jadi) yang jangka waktu pemakaiannya singkat. Bukan hanya itu, produk garmen ini diproduksi dalam jumlah melimpah dengan waktu yang relatif cepat.

Selama bertahun-tahun, mode cepat mengalami peningkatan popularitas yang sangat pesat dikarenakan meningkatnya popularitas tren pakaian baru di media sosial. Dimulai dari fashion runway atau trending yang sedang naik daun, hingga akhirnya diproduksi massal oleh perusahaan dan dijual di toko atau website. Merek-merek seperti Zara, Shein, dan H&M adalah bagian dari industri fast fashion. Fast fashion semakin sering bermunculan karena metode pembuatan dan pengirimannya yang lebih murah.

Hari Raya dan Fenomena Fast Fashion

Sudah tidak mengherankan bahwa hari-hari menjelang Natal dan Lebaran menjadi saat-saat yang menyenangkan. Istimewanya hari raya ditandai dengan antusias warga dalam berburu pakaian baru. Kebiasaan membeli pakaian baru untuk merayakan hari raya ini masih berlangsung sampai sekarang.

Setiap Lebaran, umat Islam di Indonesia ramai-ramai membeli baju baru. Hal ini menjadi kebiasaan yang membudaya di Indonesia untuk memanjakan diri dalam menghadapi hari yang fitri. Kebiasaan berburu pakaian baru didasari keinginan untuk tampil sebaik-baiknya di hari raya. Sayangnya, kebiasaan tersebut memunculkan persepsi bahwa tampil baik harus selalu dengan sesuatu yang baru.

Satu minggu menjelang lebaran, berbagai toko baju memasang pakaian yang motifnya beragam dan dijual dengan harga yang beragam pula. Tersedia pakaian dari yang harganya mahal hingga yang murah, bahkan tidak jarang ada toko yang memasang label diskon untuk produk mereka.

Fast Fashion dan Dampak Buruk Bagi Lingkungan

Dulu, pakaian dapat dipakai sampai rusak atau ukurannya yang sudah kekecilan. Sementara sekarang, tumpukan pakaian di dalam lemari masih ada label harga atau bungkus plastiknya yang belum dilepas. Konsumsi pakaian pada masa ini menjadi sangat berlebihan sehingga lemari pakaian tak lagi cukup untuk menampung.

Secara tak sadar, hal ini berdampak pada lingkungan hidup dan juga kesehatan jiwa. Pergantian fashion secara cepat akan menguras banyak energi. Tekanan untuk mengurangi biaya dan mempercepat produksi seringkali mengabaikan undang-undang lingkungan. Fast fashion menggunakan pewarna tekstil yang murah dan beracun, mengubah industri fashion menjadi pencemar air bersih terbesar kedua secara global setelah pertanian. Produksi kain murah yang tidak bertanggung jawab seperti polyester berkonstribusi pada emisi karbon.

Membeli Produk Lokal, Kurangi Dampak Buruk Fast Fashion

Kita bisa mencegah fast fashion dengan membeli lebih sedikit pakaian. Toko barang bekas atau thrift store membantu mendaur ulang pakaian yang sudah lama dibeli. Selain itu, daripada membuang pakaian, lebih baik berinvestasi dengan menggunakan barang-barang berkualitas. Pakaian yang berkualitas mungkin lebih mahal, tetapi pakaian-pakaian ini pasti akan bertahan lama.

Mendukung merek lokal yang mengikuti praktik etis dan berkelanjutan juga salah satu hal yang bisa dilakukan. Membeli barang-barang yang dibuat secara lokal mengurangi emisi karena barang-barang tersebut tidak perlu dikirim dalam jarak jauh dari produsen ke konsumen.

Kehadiran fenomena fast fashion dan momen lebaran mendatangkan peluang serta dampak positif terhadap perekonomian. Di sisi lain, fenomena ini juga melahirkan ancaman bagi lingkungan dan kesejahteraan sosial. Apakah kita masih bisa menikmati gemerlap berbelanja pakaian dengan harga yang terkadang sangat murah? Sudah saatnya bijak dalam membeli pakaian dan membangun karakter buy less (lebih sedikit membeli) untuk menekan kejahatan ekologis. (TGP/OFR)