Foto: Unsplash, Jorge Maya

Foto: Unsplash, Jorge Maya

Para profesional di bidang foto jurnalistik memainkan peran penting dalam menggunakan visual yang mencolok untuk menggambarkan berita, budaya, dan kehidupan sehari-hari di Indonesia. Mereka adalah fotografer yang tidak hanya mahir secara teknis, tetapi mereka juga peka terhadap masalah sosial, politik, dan budaya yang dihadapi Indonesia. Untuk mendokumentasikan momen bersejarah dan menceritakan kisah menarik melalui foto-foto mereka, para jurnalis foto sering kali beroperasi di tengah-tengah kejadian, seperti peristiwa bersejarah, aksi protes, dan peristiwa penting lainnya. Mereka berperan penting dalam memberikan informasi, sudut pandang, dan anekdot yang memiliki kekuatan untuk memengaruhi khalayak dan mendorong perubahan sosial di Indonesia.

Selain itu, para jurnalis foto Indonesia sangat ingin memperkuat independensinya dalam menghadapi tantangan politik dan ekonomi. Mereka bekerja keras untuk mengatasi hambatan pribadi agar dapat terus berfungsi sebagai pengorganisasi masyarakat dan pemecah masalah. Para jurnalis foto ini sering kali mengambil risiko besar, terutama ketika mereka menempatkan diri mereka dalam posisi pelapor berita-berita penting, seperti skandal politik, konflik, dan bencana alam. Namun, tekad mereka dalam menyebarluaskan foto-foto tersebut membuat mereka seolah-olah tidak memiliki identitas dan tampak sebagai orang yang terbuang dari industri media di Indonesia.

1. Alfrets Mirulewan

Alfrets lahir pada 14 November 1982 di Tutuwaru, Kota Ambon. Sebelumnya, ia memiliki banyak karier, salah satunya sebagai tentara dan akhirnya menjadi jurnalis yang berfokus ke penulisan, sesuai hobinya sejak lama. Keberuntungannya terletak pada kakak sepupunya, Thomy Mirulewan, yang bekerja sebagai wartawan TVRI di Kupang. Alfrets belajar menjadi reporter di bawah bimbingan Thomy. Setelah itu, ia bergabung dengan Mingguan Pelangi Maluku, sebuah majalah yang dikelola secara swadaya oleh jurnalis muda dengan menampilkan cerita-cerita yang tidak dipublikasikan oleh media tradisional, terutama berkaitan dengan masalah yang muncul di berbagai kabupaten dan kota di Maluku. Ia ditunjuk sebagai kepala redaksi media setelah mengkritik kebijakan pemerintah dalam beberapa tulisannya.

Foto: Buku MATI KARENA BERITA: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia

Foto: Buku MATI KARENA BERITA: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia

2. Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa

Prabangsa lahir pada 20 November 1968 di Bangli. Lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Sejarah dari Universitas Udayana, Denpasar. Ia memulai kariernya sebagai reporter di Harian Nusa pada tahun 1995, yang kemudian berganti nama menjadi Harian Nusa Bali. Setelah bekerja di Harian Nusa Bali selama beberapa tahun, ia pindah ke tabloid Manggala di Bali dan kemudian beralih ke Harian Radar Bali, yang baru didirikan dan berfokus pada liputan daerah. Prabangsa dikenal sebagai pekerja yang tekun dan telaten dengan banyak arsip dan data, serta sering menulis tentang hal-hal yang tidak banyak mendapatkan perhatian. Ia menjadi redaktur untuk berita daerah dan halaman berita Dwipa 1 dan Dwipa 2, setelah bekerja selama sembilan tahun di Radar Bali. Ia sering menulis berita sendiri, terutama tentang Bangli, tempat kelahirannya.

Foto: Buku MATI KARENA BERITA: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia

Foto: Buku MATI KARENA BERITA: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia

3. Ersa Siregar

Sebelum memulai karier jurnalistiknya di RCTI pada tahun 1993, Ersa Siregar lahir di Brastagi, Sumatera Utara, pada 4 Desember 1951. Ia memiliki latar belakang yang beragam. Sebelum itu, ia menjadi pembaca berita di Dunia dalam Berita di TVRI dari tahun 1978 hingga 1993. Ia juga telah bekerja di beberapa perusahaan, seperti PT Fesda, PT Satmarindo, Majalah Suasana, dan Majalah Keluarga. Ersa belajar di Sekolah Rakyat di Padang, Sumatera Barat, dan kemudian pergi ke Sekolah Menengah Atas No. 8 di Medan, Sumatera Utara. Ia kemudian meneruskan pendidikannya ke Akademi Perbankan Jakarta dan Sekolah Tinggi Publisistik (STP) di Jakarta dalam bidang jurnalistik. Setelah itu, ia  memulai karirnya sebagai penerjemah dan produser di RCTI dan kemudian menjabat sebagai koordinator daerah, koordinator liputan pariwisata, gaya hidup, dan hiburan, serta koordinator hukum dan kriminal kota.

Pada 16 November 2001, posisinya adalah koordinator liputan, sebelum mengalami insiden penembakan. Ersa menikah dengan Tuty Komala Bintang Hasibuan dan memiliki tiga anak, ia dipanggil dengan nama Amang oleh ketiga anaknya.  (jvw/ft)

Foto: Buku MATI KARENA BERITA: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia

Foto: Buku MATI KARENA BERITA: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *