Pernyataan Jokowi, Presiden Boleh Kampanye: Dasar Hukum dan Aturannya!
Foto: Freepik.com
GEMAGAZINE – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan kontroversial bahwa presiden dan menteri diperbolehkan berkampanye serta memihak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024. Presiden Jokowi menegaskan bahwa dirinya selaku kepala negara memiliki hak untuk ikut berkampanye. Pernyataan tersebut disampaikan oleh wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, beberapa pekan lalu.
“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak, tapi yang paling penting, waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, boleh, menteri juga boleh,” ujar Jokowi.
Penjelasan Hukum dan Aturan Presiden Berkampanye
Berikut merupakan penjelasan mengenai hukum dan aturan presiden dalam berkampanye serta memihak kepada salah satu pasangan calon (paslon). Dalam kasus ini, maksud dari presiden memihak pada salah satu paslon adalah dengan mengambil sikap untuk memilih salah satu paslon, baik ketika menggunakan hak suaranya maupun sikap untuk mendukung salah satu paslon dengan mengajak orang lain untuk memilih paslon tertentu atau ikut berkampanye bersama salah satu paslon.
Melansir dari Jurnal Konstitusi, Vol. 17 No. 2 Juni 2020, menurut Undang-Undang Pemilu Pasal 299 ayat (1) menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memiliki hak melaksanakan kampanye. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan bahwa “Kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan, yaitu tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.”
Selama dilaksanakannya kampanye, presiden harus memperhatikan koridor hukum yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, presiden wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Kedua, selama melaksanakan kampanye, presiden dilarang menggunakan fasilitas negara berupa sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas; gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan; sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan fasilitas lainnya yang dibiayai APBN atau APBD.
Penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan presiden menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler dilakukan sesuai kondisi lapangan secara profesional dan proporsional. Presiden yang berkampanye harus menjalankan cuti. Jadwal cuti kampanye yang dilakukan oleh presiden disampaikan Menteri Sekretaris Negara kepada KPU maksimal tujuh hari kerja sebelum presiden melaksanakan kampanye.
Penilaian Pengamat Politik mengenai Presiden Berkampanye
Pernyataan Presiden Jokowi juga mengundang kritik dari beberapa pengamat politik Indonesia. Beberapa kritik datang dari berbagai pihak seperti yang dilakukan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa keberpihakan presiden dan menteri justru melanggar hukum dan etik.
“Mungkin Pak Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307,” ujar Bivitri Susanti, melansir dari Tempo.co pada Kamis (8/2).
Menurutnya, pasal-pasal itu membatasi seorang presiden dan pejabat-pejabat negara untuk mendukung atau membuat kebijkan yang bisa menguntungkan salah satu paslon. Menurut Brivitri Susanti, dari pasal tersebut jelas bahwa Presiden Jokowi telah keliru dalam memahami dan melanggar hukum dan etik. Sama seperti Brivitri Susanti, Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti juga turut memberikan komentarnya terhadap pernyataan kontroversial Presiden Jokowi. Ikrar menyebutkan bahwa sebagai pemimpin, presiden telah ingkar janji yang mengakibatkan Pilpres 2024 menjadi tidak adil.
“Sebagai pemimpin, Jokowi telah ingkar janji, akibatnya pelaksanaan Pilpres 2024 menjadi tidak fair,” pungkas Ikrar Nusa Bhakti.
Dampak Presiden Memihak dalam Kampanye
Keberpihakan presiden dalam kampanye politik dapat menciptakan dampak negatif yang signifikan dalam dinamika politik dan masyarakat. Keberpihakan presiden cenderung memperdalam perpecahan masyarakat, menimbulkan ketegangan antara kelompok pendukung dan penentang presiden. Hal ini dapat merugikan semangat nasionalisme yang mengarah pada perpecahan sosial dan menghambat kemampuan masyarakat untuk berdialog secara positif.
Selain itu, keberpihakan presiden dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap partai atau kandidat, mempengaruhi distribusi sumber daya pemerintahan dan akses informasi. Dengan merugikan proses demokrasi, keberpihakan ini juga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat pada integritas lembaga-lembaga pemerintah, menciptakan tantangan dalam membangun kestabilan politik jangka panjang.
Dampak negatif lainnya adalah potensi penurunan kepercayaan pada proses pemilihan umum. Jika presiden secara terbuka memihak calon tertentu, masyarakat dapat menganggap bahwa pemilihan tidak adil dan cenderung “dimanipulasi” untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini dapat menciptakan keraguan tentang legitimasi pemerintahan dan merongrong fondasi demokrasi. Selain itu, keberpihakan dapat menghambat perdebatan terbuka dan inklusif, dengan mengarahkan perhatian pada isu-isu yang mendukung satu pihak saja.
Dengan kurangnya dialog yang sehat, masyarakat kehilangan peluang untuk memahami perspektif yang beragam dan membuat keputusan yang lebih informasional. Dengan demikian, dampak negatif dari keberpihakan presiden dalam kampanye menggambarkan tantangan serius terhadap stabilitas politik dan integritas sistem demokratis.
(ndk/vmg)