Mengenal Empati: Remaja dan Kecenderungannya Menjadi Pelaku Perundungan

0
Foto: GEMAGAZINE/Ainun Naya

 

GEMAGAZINE – Maraknya kasus perundungan khususnya di kalangan remaja sedang menjadi berita yang hangat dibicarakan oleh media. Perundungan, perisakan, atau pembulian (bullying) merupakan suatu upaya penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan serta mengintimidasi orang lain baik secara fisik, psikologis, maupun verbal.

Jagat media sosial saat ini sedang ramai oleh pemberitaan mengenai salah satu anak selebriti terkenal tanah air dengan komplotannya yang menjadi tersangka pelaku tindakan perundungan terhadap seorang siswa di salah satu instansi pendidikan ternama. Di antara ramainya pemberitaan tersebut, hadir kembali kabar terbaru mengenai kasus perundungan yang tidak kalah seramnya. Kasus berikut terjadi di salah satu lembaga pendidikan berasaskan agama yang telah dipercaya banyak orang tua di Indonesia dalam menitipkan anaknya untuk mengemban pendidikan. Masifnya pemberitaan tidak mengenakkan tersebut menimbulkan banyaknya ketakutan, terutama bagi para remaja.

Sebagai manusia, tentunya kita tidak dapat mencegah hal-hal di luar kendali kita. Namun, kita dapat turut serta membantu dalam upaya pencegahan adanya korban-korban lain dengan mencoba mengenal diri sendiri. Apakah kita sebagai manusia punya kecenderungan dalam menjadi perundung? Jawabannya mungkin terletak pada pemahaman kita mengenai empati, salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.

Mengenal Empati dan Perannya dalam Kehidupan Manusia

Empati merupakan kemampuan manusia dalam merasakan dan memahami manusia lain melalui sudut pandang pribadinya. Setiap individu memiliki tingkat empati yang berbeda, rendah dan tingginya tingkat empati yang mereka miliki dapat berpengaruh langsung terhadap kemungkinan seseorang menjadi pelaku perundungan. 

Khususnya bagi para remaja dalam tahap pertumbuhan, kemampuan mereka dalam mengendalikan arus pergaulan dan lingkungan sekitar. Belum sempurnanya kemampuan menilai suatu hal baik atau buruk secara logis, dapat menjadi potensi besar remaja terseret arus peristiwa mengerikan tersebut. 

Salah satu hal yang dapat menjadi “rem diri” seseorang dalam berperilaku di masyarakat adalah kemampuan mereka dalam berempati. Tingginya tingkat empati yang dimiliki, berperan besar bagi remaja untuk dengan mudah mengenal, merasakan, dan memahami apa yang orang lain lakukan. Hal tersebut dapat berpengaruh langsung dalam bagaimana mereka bertindak berdasarkan nilai moral; baik dan buruk yang telah ditanamkan masyarakat. 

Pengaruh Faktor Eksternal dalam Peningkatan Empati Seseorang

Tentunya upaya peningkatan empati dalam diri sendiri bukan suatu hal yang dapat dilakukan secara instan, banyak hal yang dapat menjadi pengaruh seseorang memiliki empati yang tinggi. Beberapa hal tersebut, seperti peranan orang tua dalam pembentukan empati individu di masa kecilnya, juga bagaimana orang tua mendidik dan membesarkan menjadi faktor utama seseorang memiliki tingkat empati tertentu. Orang tua yang memiliki hubungan dan komunikasi yang sehat terhadap anak-anaknya berpotensi besar memberikan pelatihan empati yang baik bagi anak tersebut, alhasil mereka tumbuh dengan kemampuan empati yang baik pula terhadap orang-orang di sekitarnya. 

Selain itu, terdapat faktor di luar kendali orang tua karena tentunya mereka tidak dapat terus-menerus mengontrol apa yang anaknya lakukan. Terdapat faktor lain yang dapat menentukan tinggi dan rendahnya empati seseorang, faktor-faktor ini berupa lingkup pergaulannya, apa yang mereka lihat di lingkungan sekitarnya, hingga ke suatu hal yang mereka konsumsi, tonton, dan amati dari internet. 

Anak yang secara aktif berada di lingkungan pergaulan yang terbiasa mewajarkan tindakan negatif, akan melihat hal-hal negatif tersebut sebagai sesuatu yang wajar, walaupun orang tuanya tidak pernah mengajarkan hal tersebut kepada mereka. Begitu pula dengan apa yang mereka konsumsi di internet. 

Hal-hal yang diwajarkan itulah yang akhirnya mendorong empati seseorang menurun hingga mereka tidak lagi dapat melihat secara gambling; baik dan buruknya hal yang mereka lakukan. Melalui hal tersebut, pelaku perundungan tumbuh, mereka yang tidak dapat lagi merasakan empati terhadap orang-orang di sekitarnya. 

Mengenal Bystander dalam Kasus Perundungan

Selain pelaku perundungan dan korban, terdapat satu pelaku lain yang ikut berpengaruh besar dalam beberapa kasus perundungan. Pelaku tersebut dikenal dengan sebutan Bystander atau pengamat. Dilansir Gemagazine dari Southern Poverty Law Center, Learning for Justice edisi 39 musim semi 2011

Bystander ini dikenal sebagai orang-orang yang ikut serta mendukung dan menyoraki terjadinya perundungan, tetapi tidak berperan aktif melakukan perundungan. Menjadi pihak bystander dalam kasus perundungan tidak serta-merta membuat seseorang terhindar dari kesalahan. Mereka mungkin tidak secara aktif melakukan perundungan, tetapi dalam kasus perundungan, tindakan tersebutlah yang justru mendorong semangat pelaku perundungan dalam melakukan aksinya. 

Menjadi bystander dalam tindakan perundungan akan membuat seseorang menjadi tidak peka terhadap kekejaman perilaku perundungan. Rendahnya empati seseorang inilah yang nantinya menjadi awal mula bertumbuhnya pelaku perundungan.

Oleh sebab itu, pengenalan tingkat empati dalam diri sendiri merupakan satu tindakan kecil yang secara tidak langsung dapat memberikan dampak besar terhadap sekitar. Dengan belajar mengasah empati dalam diri, kita tidak hanya dapat terhindar sebagai pelaku perundungan, kita juga dapat dengan cepat memberikan pertolongan terhadap korban perundungan jika terlibat dalam situasi tersebut. 

Jadi, mari kita lakukan introspeksi terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Mari kita tingkatkan empati kita dan menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan dalam kehidupan orang lain. Dengan demikian, kita dapat mencegah terjadinya perilaku perundungan yang tidak disadari dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang.

 

(aan/aly)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *