Mengungkap Budaya Patriarki dalam Masyarakat Indonesia

0

Foto: Freepik.com

GEMAGAZINE Sebagian besar masyarakat Indonesia dikenal sebagai penganut budaya patriarki. Anggapan ini berdasar pada generalisasi budaya Jawa yang menjadi tolok ukur kebudayaan Indonesia.

Ciri utama budaya patriarki adalah penempatan laki-laki sebagai sosok sentral dalam organisasi sosial. Menurut budaya ini, laki-laki memiliki keunggulan dalam beberapa aspek, seperti penentuan garis keturunan, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik, serta pembagian kerja. 

Pada akhirnya, berubahnya patriarki tidak hanya ditandai dengan anak-anak perempuan yang mulai bersekolah. Perempuan mulai mendapat hak dalam pembagian kerja serta partisipasi politik dan publik. 

Definisi Patriarki

Berkembangnya peradaban di Indonesia sulit untuk terlepas dari tembok besar patriarki. Patriarki ada sejak zaman nenek moyang hingga sekarang dan terus disosialisasikan dari generasi ke generasi. Budaya ini juga melekat pada kehidupan masyarakat seperti halnya budaya. Patriarki merealisasikan kepercayaan yang didominasi oleh laki-laki daripada perempuan. Patriarki berasal dari kata ‘Patriarkat’ yang berarti struktur penempatan laki-laki sebagai pemegang peran utama yang sentral daripada gender lainnya. 

Budaya ini menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang diposisikan secara subordinat dengan batasan di mana mereka tidak dapat melampaui standar kedudukan laki-laki. Dalam buku The Orgin of the Family, Private Property, and the State yang ditulis oleh Frederic Angels, menjelaskan bahwa patriarki merupakan bentuk organisasi politik yang mendistribusikan ketidaksetaraan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Manajemen dan Bisnis Ekonomi, Sabtu (16/03/2024).

Contoh Budaya Patriarki 

Budaya patriarki yang sangat kuat di Indonesia memengaruhi kesempatan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Orang tua akan lebih memprioritaskan anak laki-laki untuk menempuh pendidikan tinggi daripada anak perempuan.

Di bidang politik, keterwakilan perempuan di DPR harus diiringi dengan pengawalan dan perjuangan yang berporos pada gender dan berkelanjutan dalam proses politik. Melalui amanat undang-undang, negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya untuk berpolitik. Namun, pada kenyataannya kaum perempuan masih mengalami diskriminasi secara tidak langsung yang berdampak pada kepercayaan diri mereka untuk terlibat dalam dunia politik. Akibatnya, partisipasi perempuan masih rendah dan sebagian besar selalu diduduki oleh kaum laki-laki. 

Dalam hal ekonomi, seharusnya perempuan tidak hanya sebagai penerima nafkah, tetapi juga sebagai pencari nafkah. Akan tetapi, masih terdapat plotting profesi antara laki-laki dan perempuan di pedesaan Yogyakarta. Profesi tertentu yang menjadi plot perempuan, contohnya pedagang sayur, dukun bayi, dan penjual jamu. 

Berdasarkan pandangan budaya Jawa Tradisional mengenai pernikahan, kekuasaan seorang istri pada masyarakat tersebut hanyalah sebatas dalam hal-hal domestik, seperti memasak dan mencuci. Sementara itu, suami harus bekerja untuk mencari nafkah. 

Dampak dari Budaya Patriarki

Dalam budaya patriarki, perempuan menghadapi dampak yang meliputi ketidakadilan gender, kekerasan fisik, seksual, emosional, psikologis, dan ekonomi. Selain itu, perempuan sering kali terperangkap dalam konstruksi sosial yang membatasi peran mereka dalam pernikahan dini dan sektor domestik. Budaya patriarki ini menciptakan ketimpangan gender yang mengakibatkan subordinasi, marginalisasi, kekerasan, stereotip, dan beban ganda bagi perempuan dalam masyarakat.

Solusi Mengatasi Budaya Patriarki

Pengarusutamaan gender adalah strategi untuk mempromosikan kesetaraan gender yang dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu dengan pengarusutamaan, perlindungan khusus, dan menetapkan kuota tertentu untuk kelompok rentan. Penerapan pengarusutamaan gender dapat dilaksanakan melalui proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi yang melibatkan masyarakat.

Upaya menghilangkan perbedaan pandangan yang masih merugikan perempuan harus terus dilakukan. Pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan dapat diperluas dari dimensi masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Kemudian, secara bertahap kepada seluruh masyarakat. Masalah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan juga tercantum pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.

Budaya patriarki yang mendominasi masyarakat Indonesia menyebabkan ketidaksetaraan gender, terutama dalam hal pendidikan, politik, pekerjaan, dan pernikahan. Perubahan menuju kesetaraan gender memerlukan pengarusutamaan gender melalui strategi perlindungan khusus, kuota tertentu untuk kelompok rentan, serta perubahan pandangan masyarakat secara bertahap untuk menciptakan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan.

 

(izni/az)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *