Distraksi Teknologi Digital, Banyak Dialami pada Gen Z

0

foto : freepik.com

GEMAGAZINE – Era digital penuh informasi instan serta distraksi tak terbatas, kini telah menjadi teman sekaligus musuh terbesar bagi Generasi Z. Dikemukakan oleh beberapa pendapat, Generasi Z atau yang akrab disebut dengan Gen Z, merupakan generasi yang lahir di rentang tahun 1995 sampai 2012. 

Gen Z dikenal sebagai generasi yang telah bersentuhan dengan teknologi sedari lahir. Di rentang tahun tersebut, teknologi mulai merajalela bagai dunia baru bagi kehidupan manusia. Pergerakan teknologi yang sangat cepat, alhasil membentuk Gen Z yang dipercaya akan kelihaiannya dalam mempelajari hal-hal baru. 

“Makin terang sinarnya, maka makin gelap bayangannya”. Selaras dengan kalimat tersebut, di era teknologi yang makin berkuasa, Gen Z dihadapkan dengan berbagai tantangan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Canggihnya teknologi saat ini membawa berbagai masalah baru yang harus mereka hadapi. Mereka terjebak dalam labirin digital di mana segala sesuatu terasa begitu instan dan nyaman. Namun, pada saat yang sama juga menyodorkan perangkap mengerikan yang timbul akibat keberadaan teknologi.

Derasnya Arus Informasi di Abad ke-20

Diperkirakan rentang usia Gen Z saat ini berada di kisaran 12–29 tahun. Usia ini merupakan usia prima seseorang dalam mempelajari dan menekuni suatu bidang. Fenomena pesatnya kemajuan teknologi dan segala hal yang mulai didigitalisasi, seharusnya menjadi alat instan yang mempermudah tujuan mereka, bukan? Ironinya, segala hal instan tersebut justru dianggap berbalik memakan tingkat produktivitas Gen Z di era kini. 

Pada generasi sebelumnya, saat orang tua kita ingin mendapatkan suatu informasi, mereka harus menggali bertumpuk buku atau menunggu tayangan televisi yang mungkin hanya menampilkan sepintas jawaban dari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, kini  segalanya berubah. Hanya dengan satu tombol ‘klik’, segala hal dapat ditemukan, bahkan sampai ke tahap di mana beberapa informasi harus dipertanyakan keabsolutannya. 

Derasnya arus informasi justru berperan besar menjadi bumerang bagi generasi saat ini. Di mana informasi dapat lolos dengan bebas tanpa tersaring. Media sosial seketika menjadi wadah bagi siapa pun untuk dapat berperan sebagai sumber informasi, tanpa harus dipertanyakan. Siapakah dia? Apakah dia merupakan seorang ahli hingga dapat memberikan informasi tersebut?

Dilansir Gemagazine dari oliSUNvia, seorang konten kreator YouTube dalam salah satu tayangan videonya yang berjudul drowning in entertainment: the age of distraction. Ia mencetuskan bahwa kecepatan informasi saat ini, membuat kita dapat mendengar kabar burung mengenai hal-hal paling internal di suatu negara. 

Contohnya, belum lama ini ramai kasus mengenai konflik percintaan beberapa selebritas ternama di Korea Selatan. Jika kabar itu tersebar pada zaman sebelum teknologi meluas, tentu kabar itu hanya akan menjadi konsumsi internal mereka di negaranya sendiri. Mungkin juga tersebar melalui tayangan penuh gosip hingga desas-desus gunjingan orang yang barangkali jaraknya tidak sampai ratusan kilometer. 

Akan tetapi, siapa sangka isu yang sebenarnya sangat internal itu sekarang bertransformasi menjadi gunjingan dan hiburan bagi masyarakat di seluruh dunia? Semua orang tanpa batasan jarak dapat mengetahui polemik tersebut, bahkan dengan lancangnya berkomentar sampai mengecam secara pribadi. Mereka menjadikan isu hangat ini layaknya hiburan instan yang mereka konsumsi secara cuma-cuma.

Saat ini, segala sesuatu dapat berubah menjadi urusan semua manusia di seluruh belahan dunia lain. Perkara ini membuktikan bahwa kemudahan akses informasi tidak hanya akan membawa manfaat bagi tiap individu, tetapi juga riskan diiringi hal-hal mengerikan yang tidak terhitung jumlahnya. 

Kebenaran Tersembunyi di Balik Menurunnya Attention Span Gen Z

Jika harus dibandingkan lagi, attention span Gen Z terbilang jauh lebih pendek dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di era di mana teknologi telah mempermudah segala hal. Menurut mereka, jika sesuatu bisa didapat dalam waktu singkat, mengapa harus bersusah payah? 

Pada Rabu (13/03/2024) Gemagazine telah mewawancarai beberapa Gen Z yang juga merupakan pengguna aktif media sosial. Gemagazine bertanya mengenai apa yang akan mereka pilih, antara menonton video berisikan informasi dalam bentuk konten lengkap atau dalam bentuk potongan pendek. 

Rizkhika (20) salah satu narasumber berujar, “Lebih suka menonton video dalam bentuk potongan pendek karena lebih efisien dari segi waktu.” Zelia (19) juga menjawab hal serupa, “Lebih suka nonton potongan-potongan pendek, soalnya lebih cepat ngasih kesimpulan.” 

Beberapa narasumber pun memberikan jawaban yang serupa. Mereka memilih menonton atau mendapatkan informasi dari konten berbentuk potongan pendek. Menurut mereka, pilihan tersebut memberikan kemudahan, terutama dalam segi waktu. Namun, apakah pernyataan tersebut sudah mutlak memberikan jawaban bahwa attention span Gen Z benar-benar menurun dikarenakan generasi sekarang ingin terus-
menerus mengonsumsi sesuatu yang instan? 

Dilansir Gemagazine dari The Book Leo, seorang konten kreator YouTube dalam salah satu tayangannya yang berjudul “the hidden truth behind our declining attention spans”. Ia berujar bahwa faktor menurunnya attention span di generasi sekarang bukan hanya karena mereka kurang produktif dalam mengonsumsi sesuatu, melainkan teknologi yang kini sengaja dirancang persuasif bagi konsumen. 

Teknologi perlahan dirancang dengan format meyakinkan, mencoba merayu individu melakukan sesuatu dengan membuat mereka merasa tertarik. Misalnya, saat seseorang melihat iklan di ponsel, kemudian karena canggihnya teknologi, orang itu terdorong untuk segera membeli barang tersebut. Persuasifnya teknologi membuat para perancang berlomba untuk memberikan hal-hal dengan mudah dan menggiurkan bagi konsumen.

Selain itu, kini terdapat implementasi persuasif dari teknologi yang sedang hangat di kalangan Gen Z. Teknologi itu berupa aplikasi dengan tatanan algoritma yang menarik. Aplikasi tersebut menampilkan konten dalam bentuk potongan pendek, kemudian dirancang relate atau terasa sangat “dekat” dengan kehidupan Gen Z. 

Algoritma tersebut lambat laun berganti peran menjadi sumber informasi mutlak karena terkesan “memberi makan” keingintahuan kita akan suatu hal. Algoritma dengan gamblangnya memberikan suatu informasi yang hanya ingin kita percayai. Padahal, di saat itulah algoritma sedang memainkan perannya dengan mempelajari perhatian kita terhadap suatu hal.

“Algoritma halaman FYP atau explore memengaruhi konsentrasi saya karena halaman-halaman tersebut menampilkan konten sesuai dengan apa yang sering dilihat pengguna sehingga halaman tersebut mudah mendapat perhatian pengguna dan menjadi adiksi.” ucap Naya dalam wawancaranya bersama Gemagazine.

Oleh karena itu, jelas sekali menurunnya attention span di generasi sekarang bukan sesuatu yang serta-merta dapat kita hindari. Majunya teknologi, bahkan mampu mendesain diri kita dalam berperilaku terhadap suatu hal. 

Hidup pada zaman di mana informasi demi informasi mengalir dengan cepat, membuat kita sebagai Gen Z dipaksa untuk mempercepat rentang perhatian kita terhadap banyak hal. Beragam konten berebut mencari perhatian hingga rasanya tidak heran jika kita menemukan beberapa dari Gen Z yang berpendapat bahwa kian hari ia merasa makin kesulitan untuk berkonsentrasi. Hari demi hari berjalan layaknya peperangan antara apa yang ingin mereka fokuskan dengan apa yang tidak boleh mereka lewatkan. 

Mood Gen Z yang Kian Tersetir Algoritma

Pada zaman dengan kecepatan arus informasi yang tidak terkendali ini, tidak terelakan bahwa kesehatan isi kepala juga menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan. Konten demi konten yang tersaji, memberikan informasi yang bisa saja sangat jauh berbeda. Akhirnya, otak kita dipaksa menerima beragam informasi dalam satu waktu bersamaan.

“Saat saya melihat konten negatif di sosial media, seperti penipuan, perjudian, atau SARA, saya akhirnya merasa cemas karena konten tersebut semakin marak terlihat. Saya jadi berpikir akan ada kemungkinan hal-hal tersebut akhirnya menjadi hal yang biasa terjadi. Saya cemas karena hal seperti itu tidak seharusnya dibiasakan dan dilihat normal.” tambah Naya.

Cepatnya pergerakan manusia di generasi ini, menimbulkan berbagai kesibukan dan tekanan yang dinormalisasi. Aliran informasi yang kian marak pun akhirnya menjebak individu ke dalam lingkaran algoritma. Mereka sibuk melarikan diri dari satu jejaring ke jejaring lainnya, memberi makan “rasa lapar” mereka akan distraksi dan hiburan. 

“Buka sosmed justru kadang ngasih efek dopamine karena yang aku cari biasanya konten-konten hiburan. Kalo stresnya karena sosmed, ya, dicari lagi konten hiburannya.” imbuh Zelia.

Pada tayangannya, oliSUNvia juga menuturkan bahwa cepatnya arus informasi membuat informasi tidak lagi dinilai berdasarkan seberapa bergunanya isi informasi tersebut. Pernyataan oliSUNvia terbukti ditandai dengan bagaimana cara para jurnalis menyajikan suatu informasi pada zaman sekarang ini.

Berita yang beredar kini mulai berlomba dalam menampilkan tajuk penuh unsur clickbait hingga abai pada faktor seberapa pentingnya isi yang ingin dibagikan kepada khalayak. Mereka mulai mengutamakan bagaimana cara agar informasi tersebut secara tidak langsung dapat menyajikan hiburan dan kesenangan pribadi bagi pembaca.

Pada akhirnya, pernyataan-pernyataan di atas terasa seperti “Mengapa kita sebagai manusia yang memiliki akal, dapat dengan mudah dikendalikan oleh teknologi?” Karena itu, penting untuk disadari bahwa sebagai manusia, kita perlu memiliki kesadaran penuh untuk melepaskan kontrol akan keadaan serta belajar mengontrol tindak diri terhadap sesuatu.  

Berhenti menjadikan media sosial sebagai alat pelepas “rasa lapar” akan validasi perasaan yang tidak dapat ditemukan di ruang nyata. Kita perlu memahami dan mengendalikan peran teknologi di dalam kehidupan sehingga kita dapat menciptakan keseimbangan yang lebih sehat antara kehidupan digital dan kehidupan nyata.

 

(efp/vmg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *