Pers Kampus Butuh Perlindungan, Bukan Penghakiman

0

Foto : freepik.com

GEMAGAZINE – Pembungkaman, penahanan, hingga kekerasan menjadi ancaman bagi pers kampus sebagai garda terdepan dalam mengutarakan keadilan. Payung hukum yang rentan dalam memberikan naungan kerap menimbulkan malapetaka yang mengurung pers kampus dalam bertugas. 

Layaknya pers umum, pers kampus juga melaksanakan tugas-tugas jurnalistik sebagaimana fungsinya. Pers kampus menyalurkan informasi melalui produk-produk jurnalistik yang logis dan kritis untuk konsumsi publik. 

Sebagai pilar keempat demokrasi, pers kampus aktif berpartisipasi dalam mengawal roda perputaran tatanan hidup bernegara. Mulai dari menilai, mengkritik, atau tatkala menjadi sentilan bagi para pemangku jabatan demi sepucuk rasa kemanusiaan. 

Pahitnya, kehadiran pers kampus bagai acuh tak acuh. Mereka ada untuk menyuarakan jeritan yang tak terdengar oleh gedung-gedung megah Jakarta. Namun, seolah tak kasat mata ketika menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Tak ada hukum yang kebal untuk membela mereka. 

Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, ditemukan 22 kasus yang ditangani terkait Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dalam rentang waktu 2019–2022. Dari sumber pemberitaan kolaborasi Tirto dan Deduktif, didapati 25 kasus kekerasan dalam rentang waktu 2015–2022. 

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) juga melakukan riset dalam jangka waktu 2020–2021. Hasil riset membuktikan terdapat 185 kasus jerat represi terhadap pers kampus. Mirisnya, salah satu pelaku dari 48 kasus di antaranya ialah pihak kampus sendiri.

Sungguh nasib buruk bagi pers mahasiswa. Bagaimana kabar demokrasi negeri jika yang menyerukan aspirasi dipaksa berhenti? Auman “NKRI Harga Mati” tak lagi membakar jiwa jika cara mereka mengumandangkan rintihan rakyat dianggap kriminalisasi.

Melihat hukum yang konon katanya melindungi pers kampus, terkadang membuat dahi berkerut. Terdengar seperti mitos yang hanya menjadi buah bibir, tapi eksekusinya mustahil. 

Legalitas Hukum Formalitas Semata

UU No. 40 Tahun 1999 dirancang sebagai pemenuhan hak terhadap warga negara Indonesia, khususnya pers. Hak kebebasan berserikat dan berkumpul, juga hak mengeluarkan pikiran dan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. 

Puluhan tahun berjalan, undang-undang tersebut masih mengiringi berdirinya reformasi di negeri ini dan nihil pula kepastian terkait kedudukan pers kampus di Indonesia. Tak ada eksplanasi yang mampu menjelaskan bagaimana nasib pers kampus hingga saat ini. 

Sudah terlampau lama pers kampus berlayar tanpa kapal. Status pers kampus dalam UU No. 40 Tahun 1999 masih terombang-ambing. Tak ada sandaran atau ramalan terkait kapan berlabuhnya hukum yang secara eksplisit, legal, dan khusus melindungi hak-hak pers kampus.

Terdapat beberapa pasal dalam undang-undang tersebut yang menuai gagasan bahwa pers kampus juga menjadi bagian sebagai pers yang dilindungi. Lucunya, beberapa pasal lainnya bersifat seolah membantah. 

Pada Pasal 9 Ayat 1 jo. Pasal 4 Ayat (1), diuraikan bahwa setiap warga negara berhak dan diperbolehkan untuk mendirikan perusahaan pers, serta hak asasi warga negara menjadi jaminan kebebasan pers. 

Kemudian, Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang No. 40/1999, tertuang arti bahwa pers melakukan kegiatan jurnalistik mulai dari mencari, memverifikasi, mengolah dan mempublikasikan informasi kepada khalayak. 

Kedua pasal tersebut mengukuhkan relevansi pers kampus dengan UU Pers. Jika setiap warga negara berhak mendirikan perusahaan pers, maka pers kampus ikut serta di dalamnya. 

Apabila pers yang dimaksud ialah orang-orang yang menjalankan kegiatan jurnalistik, sudah sepantasnya undang-undang ini menjadi pengayom bagi pers kampus. Menjaga, melindungi, serta membela pers kampus. 

Layaknya dibukakan pintu, tapi tak diundang masuk. Kedua pasal ini seakan merangkul pers kampus. Melepas ikatan yang mencekik berbagai seruan kebenaran dari mereka yang terkadang lupa menjaga kehormatan kursi jabatan. 

Celakanya, para mahasiswa hanya diantar sampai ke depan pintu gerbang. Harapan yang tersirat kembali terkubur. Kedua pasal tersebut dibantah dengan pasal lain yang seolah-olah mengecualikan pers kampus. 

Pada Pasal 9 Ayat (2) menyatakan bahwa badan pers haruslah berbadan hukum. Pasal 1 Butir 4 UU No. 40/1999 menegaskan jika wartawan merupakan seseorang yang senantiasa melakukan kegiatan jurnalistik. 

Apakah pers kampus tak layak mendapatkan perlindungan di mata hukum? Lantas, bagaimana dengan mahasiswa yang juga memikul beban akademik sebagai pelajar jika hukum pers hanya memayungi wartawan?

Pasal-pasal yang saling membelakangi semakin membuat pers kampus diasingkan dari perlindungan hukum yang pasti. Hukum yang seyogianya menjadi tameng untuk membentengi alih-alih keropos.

Rupanya, kebobrokan hukum tak hanya bersumber dari UU No. 40 Tahun 1999. Pers kampus juga di jeruji besi dengan Pasal 310 Ayat (1) dan (2) KUHP 2023, Pasal  27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, serta Pasal 36 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Aturan terkait pencemaran nama baik itu, sering disalahgunakan sebagai pembelaan diri atas nama pribadi oleh mereka yang jelas-jelas terbukti harus dibui. Pilunya, di negeri dongeng ini, dengan entengnya fakta dapat diputarbalikkan oleh yang merasa maha berkuasa. 

Pers kampus dikepung tanpa payung hukum. Undang-undang tersebut menjadi kontroversi akibat pengesahan hukum yang dianggap cacat tanpa pertimbangan yang objektif. Rasanya, percuma menuntut jika teriakan aksi dikebiri. 

Tuntutan Demokrasi Dibalas Bui

Unjuk rasa berujung kekerasan pada mahasiswa. Inilah kenyataan pahit bobolnya perlindungan hukum terhadap pers kampus. Penahanan hingga kekerasan menjadi risiko dalam memperjuangkan kedaulatan. 

Ajeng Putri Yuwono, anggota pers mahasiswa GEMA Politeknik Negeri Jakarta, menjadi saksi kelam dalam perhelatan gemuruhnya aksi demonstrasi UU Cipta Kerja yang menuai polemik kala itu.

Bersama dengan dua pers mahasiswa lainnya, Ajeng melaksanakan tugas selayaknya sebagai media informasi mahasiswa. Atribut pers lengkap dikenakannya sebagai identitas pers kampus.

Nahasnya, polisi mengira Ajeng merupakan bagian dari para pendemo yang ikut terjun aksi saat itu. Tanpa basa-basi, Ajeng dan kedua pers mahasiswa tersebut digiring ke dalam Monas dengan barang-barang pribadi yang disita secara paksa. 

“Dibawa ke dalam Monas, bilangnya untuk di data,” tutur Ajeng.

Ajeng dipisahkan dengan kedua temannya. Situasi semakin kacau, mahasiswa kian lama kian riuh berdatangan. Penangkapan massal dilakukan secara paksa tanpa alasan yang rasional. 

Bersama massa aksi lainnya, Ajeng diungsikan ke Mabes Polri. Tak ada kejelasan mengapa ratusan massa aksi ini ditahan. Dengan mata kepalanya, Ajeng menyaksikan ratusan mahasiswa laki-laki ditelanjangi dada, dipukul, ditendang, dan diperlakukan tak senonoh. 

Nasib baik, Ajeng dibantu oleh LBH Pers. Namun, negosiasi yang dilakukan tak berjalan mulus. Ajeng masih harus mendekam, langkah kakinya terpaku menghitung waktu. 

Masih beradu kening dengan aparat, Ajeng dipaksa untuk menandatangani surat  pernyataan yang tak sesuai dengan apa yang Ajeng lakukan. Dengan tegas dan berani, Ajeng mencoreng pernyataan perangkap itu. 

“Di surat pernyataan itu sesuatu yang tidak aku lakukan. Jadi, aku ubah dong isinya. Terus baru aku tanda tangan pakai materai,” jelas Ajeng. 

Ajeng dipertemukan kembali dengan kedua temannya untuk diinterogasi di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus). Pertanyaan yang dilontarkan seolah merendahkan tugas mereka sebagai media kampus. 

“Kayak ditanya ngapain ke sini? Ngapain ikut-ikutan ke sini? Belajar aja di kampus yang bener. Emang ini nanti beritanya mau kaya gimana isinya? Terus nanti di publish di mana beritanya?” jelas Ajeng. 

Ajeng dan kedua temannya ditahan selama 33 jam. Seusai interogasi, mereka dibebaskan. Menurut Ajeng, tak sepantasnya mahasiswa mendapat timbal balik merugikan semacam ini. 

Sebagai mahasiswi jurnalistik, Ajeng turun ke lapangan untuk pembelajaran, bukan sebagai bentuk aksi anarkis kerusuhan. Hal ini diperkuat dengan kebebasan berakademik yang diatur dalam Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

“Mahasiswa berhak belajar dari kegiatan-kegiatan kayak gini. Bebas melakukan kegiatan-kegiatan yang tujuannya untuk pembelajaran. Menurut aku, harusnya itu sudah cukup untuk ngelindungin kita,” pungkas Ajeng. 

Urgensi Payung Hukum terhadap Pers Kampus

Pers kampus seharusnya dapat dilindungi dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini mencakup kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan akademik yang diatur pada tataran konstitusi maupun dalam perundang-undangan.

Malangnya, bagai di anak tirikan, landasan hukum yang ada tak mampu mengendalikan keadilan. Betulkah pengesahan undang-undang tersebut diperuntukkan bagi setiap warga negara? Atau formalitas untuk menyamarkan kepentingan elit semata?

Dalam praktiknya, penyelewengan wewenang dan kekuasaan sering diagungkan-agungkan. Senjata diangkat, gas air mata ditembakkan. Seolah memberi ultimatum diam atau dibungkam. 

Kasus Ajeng sudah cukup menjadi cerminan untuk penegakan hukum terkait perlindungan pers kampus di Indonesia. Perlu berapa banyak korban lagi untuk ditumbalkan? Nyawa manusia bak mainan di tangan penguasa. 

Secara eksplisit, pers kampus belum mendapat pengakuan dan perlindungan yang sah di mata hukum. Layaknya pers nasional, pers kampus juga membutuhkan perlindungan eksklusif. 

Melihat kasus kekerasan pers kampus yang tak kunjung redup. PPMI Nasional mengajukan rekomendasi terhadap Dewan Pers untuk memperjuangkan kemerdekaan pers kampus dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Pertama, membuat Memorandum Of Understanding (MOU) atau nota kesepahaman dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud-Ristek) dan institusi terkait tentang jaminan perlindungan pers mahasiswa sebagaimana UU Pers. 

Bagaimanapun, mahasiswa masih berada di bawah naungan Kemendikbud-Ristek sebagai bagian dari kelompok civitas academica. 

Kedua, melakukan revisi UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Seperti yang sudah dipertegas sebelumnya, pers yang dimaksud dalam undang-undang ini hanyalah perusahaan berbadan hukum atau wartawan. 

Tak ada pendefinisian secara lugas mengenai pers kampus. Pers kampus bukan perusahaan berbadan hukum, bukan juga wartawan yang lepas tugas dari kewajiban akademik. Lantas, di mana pers kampus mesti berpijak?

Pers kampus masih dalam bayang-bayang hitam represi. Pers kampus butuh perlindungan, bukan penghakiman. 

 

(yog/sh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *