Bertolak Belakang dengan Dewan Pers, KPI dan DPR RI Mendesak Pengesahan RUU Penyiaran

0

Foto: Pexels.com

GEMAGAZINE – Kemerdekaan pers dijamin oleh negara sebagai bentuk perwujudan kebebasan berpendapat di Indonesia. Hal ini sudah seharusnya menjadi pedoman dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik, khususnya terkait pers sebagai alat kontrol sosial di masyarakat.Namun, jaminan kemerdekaan pers di Indonesia belakangan ini kembali dipertanyakan. Lahirnya RUU Penyiaran yang direncanakan akan menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai banyak aturan yang kontroversial di dalamnya. Berbagai aksi penolakan dilakukan sebagai bentuk ketidaksetujuan atas RUU Penyiaran ini.

“Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” tegas Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Dyatmika. Dilansir GEMAGAZINE dari Dewan Pers pada Senin (03/06/2024). 

Pasal-pasal yang bertentangan dengan kebebasan pers serta proses penyusunan yang tidak melibatkan lembaga terkait menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan. Selain itu, penyelesaian sengketa pers yang ditangguhkan kepada pihak yang tidak berwenang juga menjadi sorotan. 

Penolakan tak hanya datang dari masyarakat luas. Dewan Pers sebagai lembaga yang melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas kehidupan pers di Indonesia, turut menyoroti kebijakan ini. 

Dewan Pers dan Seluruh Komunitas Jurnalis Menolak Keras RUU Penyiaran

Beberapa pasal terkait yang diatur dalam RUU Penyiaran bertolak belakang dengan kemerdekaan pers yang diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Menurut Dewan Pers, pembahasan dalam RUU Penyiaran ini dianggap tidak memperhatikan independensi pers di Indonesia. 

Dewan Pers juga melakukan jumpa pers yang digelar di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Dari pertemuan tersebut, dihasilkan beberapa poin tanggapan dari Dewan Pers terkait RUU Penyiaran yang dipublikasikan pada website resmi Dewan Pers. 

Dewan Pers menanggapi aturan terkait larangan penayangan jurnalisme investigasi di dalam RUU Penyiaran yang saling bertolak belakang dengan pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999, dinyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Di dalam RUU Penyiaran ini turut disebutkan juga mengenai penyelesaian sengketa pers yang dilakukan dengan mediasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika penyelesaian sengketa pers ditangguhkan oleh KPI, maka Dewan Pers kehilangan fungsinya sebagai lembaga yang menaungi insan pers di Indonesia. Di mana yang lebih berwenang untuk menyelesaikan sengketa pers adalah Dewan Pers, bukan KPI. 

Bersama dengan seluruh komunitas jurnalis di Indonesia, Dewan Pers melakukan penolakan secara tegas terhadap RUU Penyiaran.  Sebagaimana fungsinya, Dewan Pers bertanggung jawab untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, termasuk oleh aturan yang mengekang kinerja jurnalis di Indonesia, sesuai dengan pasal 15 ayat (2) huruf a UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Penyusunan sebuah undang-undang seharusnya melibatkan setiap partisipan yang memiliki kepentingan terkait dengan masalah yang dibahas di dalam undang-undang tersebut (meaningful participation). Namun, pada praktiknya, penyusunan RUU Penyiaran ini tidak melibatkan Dewan Pers sebagai pemangku kepentingan terkait pers di Indonesia.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran, tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” ujar Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu. Dilansir GEMAGAZINE dari Dewan Pers pada Senin (03/06/2024). 

Aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran ini juga diramaikan oleh berbagai komunitas jurnalis di Indonesia. Di antaranya adalah Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.

KPI dan DPR RI Mendesak Proses Pengesahan RUU Penyiaran

Berbeda dengan Dewan Pers, KPI justru meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyegerakan pengesahan RUU Penyiaran. Hal ini ditujukan agar KPI dapat memiliki wewenang yang lebih luas dalam mengontrol seluruh jenis penyiaran, baik media digital maupun konvensional. 

“Menuju era baru, RUU Penyiaran perlu ikuti kemajuan teknologi,” ujar Mimah Susanti, anggota KPI Pusat dalam diskusi forum legislasi di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). Dilansir GEMAGAZINE dari KPI pada Selasa (04/06/2024). 

Menurut KPI, perkembangan teknologi digital yang semakin menguasai berbagai bidang kehidupan di Indonesia menjadi ancaman nyata terhadap etika dan moral bangsa. Arus budaya luar yang masuk dengan waktu singkat tanpa adanya penyeleksian dikhawatirkan menjadi bumerang bagi Indonesia. 

Kecemasan tersebut ditujukan khususnya kepada generasi muda Indonesia yang mudah terbawa dalam pergaulan bebas, terorisme, radikalisme, hingga kekerasan. Budaya-budaya yang tak sesuai dengan nilai-nilai luhur Indonesia tersebut ditakutkan akan menjadi persoalan yang menggerus generasi muda bangsa. 

Atas dasar tersebut, KPI sepakat untuk mendesak DPR agar proses pengesahan RUU Penyiaran ini dilakukan dengan segera. Mengingat aturan terkait sebelumnya, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 belum mengalami perubahan selama hampir 22 tahun berjalan. 

Firman Soebagyo, anggota Komisi IV DPR RI, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar turut memberikan pernyataannya terkait proses pengesahan RUU Penyiaran yang perlu dipercepat. Menurutnya, pengesahan RUU Penyiaran perlu dilakukan sebelum pergantian periode jabatan dengan calon anggota DPR RI tahun 2024.

“Jangan sampai negara dirugikan oleh pelaku media asing. Karena itu, KPI harus diberi ruang untuk mengawasi media digital ini. Dalam masa sidang ini harus selesai, jangan sampai carry over ke anggota DPR baru 2024 karena akan dimulai dari nol lagi,” jelas Firman. Dilansir GEMAGAZINE dari KPI pada Selasa (04/06/2024). 

Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan juga meyakini hal yang sama. Hadirnya RUU Penyiaran ini akan memberikan kewenangan terhadap KPI untuk mengawasi konten lembaga penyiaran teresterial. Berdasarkan informasi dari Kominfo, penyiaran teresterial ialah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti halnya penyiaran analog, tetapi dengan format konten yang digital.

Farhan turut menyampaikan bahwa konten digital yang semakin merajalela di platform digital perlu pengawasan yang lebih ketat. Wakil rakyat dari Dapil Jawa Barat I itu mengungkapkan jika karya jurnalistik yang tersebar luas di platform digital tidak akan mampu dikontrol oleh Dewan Pers. Oleh karena itu, dalam RUU Penyiaran, KPI diberikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa pers. Dilansir GEMAGAZINE dari DPR RI pada Selasa (04/06/2024).

 

(daz/vmg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *