Foto: Freepik.com

GEMAGAZINE – Tanah Papua dianugerahi kekayaan alam yang cukup melimpah. Di daratan Papua, sekitar 75% wilayahnya ditumbuhi oleh hutan-hutan tropis yang lebat serta mengandung ragam jenis kayu yang tersebar secara heterogen. Dilansir GEMAGAZINE dari Pemerintah Provinsi Papua pada Selasa (02/07/2024). 

Potensi hasil tambang Papua juga tak kalah besar. Batu bara, emas, besi, batu kapur, hingga kualin menjadi daya tarik tersendiri bagi para perusahaan untuk memanfaatkan hasil bumi Papua. Akan tetapi, pemanfaatan sumber daya alam Papua sering kali merampas hak milik suku adat Papua. 

Pendirian perusahaan hingga pengerjaan proyek yang dilakukan di atas tanah adat Papua sudah selayaknya memiliki perizinan yang legal. Dalam hal ini, masyarakat adat Papua berhak untuk menolak izin atas penggunaan lahan milik mereka. Namun, masalah perizinan ini sering kali diabaikan oleh perusahaan, bahkan oleh pemerintah setempat. 

Pemanfaatan lahan untuk kepentingan industri tanpa adanya legalisasi membuat masyarakat suku adat Papua kehilangan tempat tinggalnya. Tak hanya itu, hutan Papua merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat setempat. Berdirinya perusahaan-perusahaan industri di Papua menimbulkan ancaman pencemaran lingkungan yang merugikan suku adat Papua. 

Pendirian Proyek di Papua Tak berlandaskan AMDAL 

Perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Papua kerap kali tak sesuai dengan prosedur AMDAL. Pada tahun 1989, PT Marubeni dan PT Bintuni Utama Murni mengimpor kayu serpih dari daerah hutan bakau di Teluk Bintuni, Papua Barat. Dilansir GEMAGAZINE dari Down To Earth Indonesia pada Selasa (02/07/2024). 

Perizinan kegiatan tersebut jelas tidak lolos penilaian AMDAL karena kayu-kayu yang akan diimpor berasal dari kawasan hutan bakau di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang merupakan hutan konservasi dan kawasan yang dilindungi. Hutan bakau ini juga merupakan hutan bakau terbesar di wilayah pemerintahan Kabupaten Teluk Bintuni. 

Sejumlah perusahaan ternama di bidang busana juga turut terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam Papua. Gucci dan Christian Dior adalah contoh perusahaan besar yang terlibat. Sekitar 2.500 lembar kulit buaya telah diekspor ke Perancis sejak 1987 oleh PT Skyline Jayapura. Dilansir GEMAGAZINE dari Down To Earth Indonesia pada Selasa (02/07/2024). 

Perburuan buaya dan penyelundupan kulit buaya tersebut dilaporkan terjadi di wilayah Sungai Mamberamo, Papua. Kasus ini  melibatkan kekerasan dan korupsi dalam perdagangannya. Kulit buaya dieksploitasi dan diimpor untuk keuntungan perusahaan busana ternama tersebut. 

Tak hanya itu, salah satu tambang terbesar di Papua yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat juga turut menjadi pelaku eksploitasi sumber daya alam Papua, yaitu Freeport. Freeport melakukan ekspansi secara besar-besaran terhadap tambang emas di Papua. 

Peningkatan produksi emas dilakukan tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam kurun waktu tiga tahun, serta peningkatan produksi konsentrat tembaga yang semula hanya 25.000 per ton naik menjadi 40.000 per ton.  Tak hanya eksploitasi secara besar-besaran, proyek tambang emas yang dijalankan oleh Freeport ini juga mengakibatkan banyak terjadinya kecelakaan pekerja. 

Dugaan Praktik Korupsi pada Eksploitasi Hutan Suku Adat Awyu dan Moi

Eksploitasi hutan Papua terus berlanjut dengan ancaman dari perusahaan-perusahaan yang mengincar sumber daya alamnya. Salah satu contohnya adalah proyek kelapa sawit yang mengancam keberadaan dua suku adat, yaitu suku Awyu dan Moi. Izin proyek ini diberikan tanpa koordinasi dengan kedua suku tersebut. Meskipun suku Awyu dan Moi telah mengajukan tuntutan untuk mencabut izin tersebut ke PTUN Jayapura, tuntutan yang diajukan kalah banding.

Perusahaan yang digugat tersebut yakni, PT Indo Asiana Lestari (PT IAL), PT Kartika Cipta Pratama, dan PT Megakarta Jaya Raya,serta PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS). Perusahaan tersebut berencana mendirikan proyeknya di atas hutan adat milik suku Awyu di Boven Digoel Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya. 

Pada Juni 2024, suku adat Awyu dan Moi dibantu oleh tim Transparency International Indonesia untuk membawa permasalahan ini ke tingkat yang lebih tinggi. Tuntutan pencabutan pemberian izin terhadap perusahaan kelapa sawit itu kini sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. 

Izin pendirian perusahaan kelapa sawit tersebut menghabiskan sebesar 36.094 hektare atau setara dengan lebih dari setengah luas DKI Jakarta. Selain perizinan pemberian lahan, pendirian perusahaan kelapa sawit ini juga diduga melegalkan state capture corruption. Dilansir GEMAGAZINE dari Transparency International Indonesia pada Selasa (02/07/2024). 

Dugaan praktek korupsi tersebutlah yang membuat Transparency International Indonesia sebagai lembaga yang dibentuk untuk mencegah korupsi di Indonesia ikut membantu proses perjuangan masyarakat suku adat Awyu dan Moi dalam mempertahankan tanah miliknya. 

Dengan dilegalkannya pemberian izin terhadap perusahaan kelapa sawit di Papua, angka eksploitasi Papua kian meningkat, sumber daya alam Papua juga semakin habis imbas dari pemanfaatan yang tak mengikuti prosedur AMDAL.

Dukungan Masyarakat Indonesia Melalui Tagar All Eyes On Papua di Instagram

Selain Down To Earth Indonesia dan Transparency International Indonesia, kabar eksploitasi Papua juga sampai ke telinga Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin. Kabar ini semakin meluas akibat aksi dukungan yang ditujukan oleh masyarakat Indonesia kepada dua suku Adat tersebut melalui tagar All Eyes On Papua di Instagram. 

“Kita ke depan, tentu di dalam pembangunan, harus ada komunikasi antara pemda (pemerintah daerah) dengan kepala-kepala adat dan masyarakat. Sehingga tidak terjadi semacam konflik atau kesalahpahaman seperti yang terjadi selama ini,” ujar Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin, dilansir GEMAGAZINE dari Kementerian Sekretariat Negara RI pada Rabu (03/07/2024). 

Ma’ruf Amin juga menegaskan pemberian izin dalam mendirikan perusahaan di tanah Papua harus melibatkan kepala-kepala suku adat yang memiliki hak atas tanah dan hutan yang akan digunakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari dampak negatif yang akan diterima oleh suku adat Papua. 

Koordinasi terhadap suku adat Papua perlu dilakukan untuk menghindari konflik yang terjadi antara perusahaan yang ingin mendirikan proyeknya di atas tanah Papua. Masyarakat adat Papua berhak untuk menerima informasi terkait penggunaan lahan suku adat Papua. 

“Kepada pimpinan daerah, kepada para Pj. Gubernur, ini kita harapkan seperti itu,” tegas Ma’ruf Amin, dilansir GEMAGAZINE dari Kementerian Sekretariat Negara RI pada Rabu (03/07/2024). 

Mengenai gugatan suku Awyu dan Moi yang telah sampai pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung, Ma’ruf Amin menyampaikan agar proses gugatan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di pengadilan. 

Selain tagar All Eyes On Papua, unjuk rasa suku Adat Awyu dan Moi di depan Gedung Mahkamah Agung menarik perhatian masyarakat Indonesia. Dengan menari dan mengenakan pakaian tradisional, aksi mereka mendapat simpati. Masyarakat Indonesia mendukung pengembalian hak atas hutan adat Awyu dan Moi serta menuntut aturan yang lebih melindungi hak-hak suku adat Papua.

(aan/vmg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *