Mengungkap Bahaya Victim Blaming

0

GEMAGAZINE – Victim blaming merupakan fenomena yang masih sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam perilaku victim blaming, masyarakat atau individu cenderung menyalahkan korban atas kejadian buruk yang menimpanya.

Kejadian yang menimbulkan perilaku victim blaming dapat berupa kekerasan seksual, pelecehan, atau kekerasan dalam rumah tangga. Perilaku ini tentu sangat merugikan korban, memperburuk trauma, juga menghalangi korban dalam mendapatkan dukungan dan keadilan. Mirisnya, budaya patriarki yang kuat di kalangan masyarakat, memperparah kondisi ini. Bukan fokus menekankan tanggung jawab pelaku, norma sosial justru terkesan memposisikan perempuan sebagai pihak yang harus menjaga diri dari ancaman kekerasan seksual. Akibatnya, banyak korban merasa takut melapor karena stigma dan diskriminasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan media untuk meningkatkan kesadaran tentang victim blaming. Edukasi publik mengenai pentingnya mendukung korban dan mengutuk tindakan pelaku tentunya diperlukan.

Apa Itu Victim Blaming?

Victim blaming adalah fenomena di mana korban kejahatan atau kesalahan justru disalahkan atas apa yang menimpa mereka. Pada kasus ini, masyarakat atau individu cenderung mencari alasan bahwa korbanlah yang memicu terjadinya kejadian yang menimpa korban. Contohnya, dalam sebuah kasus kekerasan seksual, korban bisa saja disalahkan karena pakaian yang mereka kenakan serta perilaku mereka. Tak jarang, keberadaan korban di tempat tertentu dan pada waktu tertentu juga ikut dipertanyakan. Pendekatan ini tentu sangat merugikan karena orang cenderung mengalihkan tanggung jawab dari pelaku kejahatan, juga menciptakan stigma yang menghambat proses pemulihan korban.

Ciri-ciri Victim Blaming

Ciri-ciri victim blaming dapat berupa perilaku menyalahkan korban atas kejadian buruk yang menimpanya. Selain itu, ciri lainnya adalah meremehkan pengalaman korban dengan menganggap pengalaman tersebut tidak penting atau melebih-lebihkan. Mengabaikan bukti yang mendukung klaim korban juga termasuk dalam ciri victim blaming. Ada pula kecenderungan untuk mengalihkan kesalahan dari pelaku ke tindakan atau karakteristik korban, serta menggunakan stereotip atau prasangka negatif untuk mendiskreditkan korban. Victim blaming juga sering mempertanyakan keputusan atau perilaku korban sebelum dan selama kejadian. Masyarakat mengharapkan korban untuk bertindak secara ideal, berpikir bahwa mereka seharusnya bisa mencegah kejadian tersebut jika bertindak lebih “cerdas” atau “hati-hati”. Terakhir, ada kecenderungan untuk menganggap korban membesar-besarkan atau berbohong dengan meragukan kejujuran mereka dan menganggap cerita mereka tidak benar atau berlebihan. Dilansir GEMAGAZINE dari Jurnal Psikologi, Minggu (07/07/2024). Kasus victim blaming di Indonesia salah satunya terjadi pada tahun 2017 di Universitas Gadjah Mada (UGM). Di mana seorang mahasiswi melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Alih-alih mendapat dukungan, korban justru menghadapi kritik dan pertanyaan yang meragukan kredibilitas serta integritasnya. Beberapa pihak universitas bahkan menyarankan agar kasus tersebut tidak dibesar-besarkan, kemudian mempertanyakan tindakan korban pada saat kejadian. Ini merupakan contoh klasik victim blaming, di mana korban disalahkan atau dipertanyakan tindakannya, menyebabkan teralihkannya fokus dari pelaku terhadap perbuatannya.

Dampak Victim Blaming Bagi Korban

Victim blaming tentunya merugikan korban secara psikologis dan emosional. Korban yang disalahkan cenderung merasa malu, bersalah, dan kehilangan harga diri. Hal ini tentu memperburuk kondisi mental dan menghambat pemulihan mereka. Rasa takut dan trauma mereka juga dapat meningkat karena merasa tidak menerima dukungan. Secara emosional, victim blaming mengisolasi korban dari dukungan sosial. Victim blaming membuat korban enggan berbicara atau mencari bantuan karena rasa takut menerima reaksi negatif. Hal ini tentunya memperparah perasaan kesepian dan keterasingan korban. Selain itu, victim blaming memperkuat budaya diam dan ketidakadilan. Budaya ini membuat pelaku merasa tidak akan diadili, sementara korban terus hidup dalam ketakutan, tanpa mendapatkan dukungan yang korban butuhkan.

Solusi untuk Menghindari Victim Blaming

Untuk menghindari victim blaming, langkah pertama yang penting adalah meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat tentang konsep ini. Edukasi yang menyeluruh mengenai dampak negatif dari victim blaming perlu disebarluaskan melalui kampanye media, seminar, dan kurikulum pendidikan. Masyarakat perlu memahami bahwa menyalahkan korban bukan hanya tidak adil, tetapi juga memperparah trauma yang dialami korban dan menghalangi korban untuk mencari bantuan. Selain itu, penting untuk menekankan bahwa tanggung jawab atas kekerasan atau pelecehan sepenuhnya berada pada pelaku, bukan pada korban. Langkah kedua adalah menciptakan lingkungan yang mendukung korban untuk berbicara tanpa rasa takut dihakimi atau disalahkan. Langkah ini dapat dimulai dari pelatihan bagi para petugas kesehatan, polisi, dan pekerja sosial guna memberikan respon yang sensitif dan mendukung laporan kekerasan atau pelecehan. Membentuk kebijakan yang melindungi hak-hak korban dan memastikan mereka mendapatkan dukungan yang diperlukan juga krusial. Dukungan ini dapat berupa akses ke layanan kesehatan mental, perlindungan hukum, dan bantuan lainnya untuk pulih dari trauma. Victim blaming merupakan fenomena di mana korban kejahatan atau kesalahan disalahkan atas apa yang menimpanya, terutama dalam kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Ciri-cirinya meliputi menyalahkan korban, meremehkan pengalaman korban, mengabaikan bukti, mengalihkan kesalahan dari pelaku ke korban, serta menggunakan stereotip untuk mendiskreditkan korban. Dampak victim blaming sangat merugikan bagi korban. Korban dapat merasa malu, bersalah, dan menderita trauma mendalam, serta mengisolasi diri dari dukungan sosial. Untuk menghindari victim blaming, masyarakat perlu diberi edukasi yang menyeluruh tentang dampak negatifnya. Tak lupa menciptakan lingkungan yang mendukung korban agar berani berbicara tanpa rasa takut dihakimi, serta memastikan korban mendapatkan dukungan yang diperlukan. 

 

(efp/az)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *