Pengesahan Revisi UU Wantimpres pada Rapat Paripurna DPR
GEMAGAZINE – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk membawa Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ke rapat paripurna untuk disahkan. Kesepakatan ini diambil dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I tentang RUU Wantimpres yang diadakan di kompleks parlemen Senayan, Jakarta.
Ketua Baleg DPR Wihadi Wiyanto, yang memimpin jalannya rapat, meminta pendapat dan persetujuan dari seluruh peserta mengenai kelanjutan proses RUU Wantimpres. Ia menjelaskan pentingnya revisi ini untuk meningkatkan efektivitas peran dewan pertimbangan dalam mendukung presiden.
“Apakah hasil pembahasan RUU tentang Wantimpres dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?” ujar Ketua Baleg DPR Wihadi Wiyanto, dilansir Gemagazine dari kantor berita ANTARA.
Revisi UU Wantimpres
Dikutip dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Wantimpres terdiri atas 52 butir, dengan 27 butir tetap, 8 butir perubahan substansi, 14 butir penghapusan substansi, dan 3 butir tambahan baru. Menteri PANRB menjadi koordinator wakil pemerintah dalam Penyusunan DIM RUU bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pemerintah juga berpendapat bahwa larangan rangkap jabatan yang diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Huruf d UU No.19/2006 agar tetap dipertahankan guna menjamin integritas, profesionalisme, dan independensi Wantimpres sebagaimana diucapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas.
“Hal tersebut guna menjaga dan menjamin integritas, profesionalitas, dan independensi Wantimpres agar tetap dapat fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai penasihat presiden tanpa terpengaruh oleh kepentingan eksternal manapun,” tutur Abdullah.
Pro dan Kontra Revisi UU Wantimpres
Beberapa kesepakatan yang dicapai antara DPR dan pemerintah terkait RUU Wantimpres mencakup perubahan nama lembaga dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI). Kesepakatan tersebut mempertahankan nama lembaga saat ini dengan menambahkan kata “Republik Indonesia” di belakang Wantimpres, sekaligus membatalkan usulan perubahan nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Selain itu, jumlah anggota Wantimpres RI ditentukan berdasarkan kebutuhan presiden dengan tetap memperhatikan aspek efektivitas. Adapun posisi Ketua Wantimpres RI dapat dipegang secara bergiliran oleh anggota yang dipilih oleh Presiden.
Namun, RUU Wantimpres memicu perdebatan. Pihak yang menolak berpendapat bahwa RUU tersebut dapat membuka celah untuk praktik pembagian jabatan. Tidak hanya itu, usulan terkait pengesahan UU tersebut juga dinilai secepat kilat.
Djarot Saiful Hidayat Anggota DPR RI, mengakui usulan RUU Nomor 19/2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang nomenklaturnya akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menempuh proses yang secepat kilat.
Di sisi lain, beberapa pihak pro seperti Ketua MPR Bambang Soesatyo, menilai tak masalah Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) diubah namanya menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
“Pandangan saya pribadi itu tidak masalah karena perubahan nomenklatur tidak mengubah kewenangan lembaga Wantimpres itu menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Kita kembalikan kepada para pimpinan partai politik, pada sistem yang ada, ya, itu diputuskan di DPR,” katanya, dikutip Gemagazine dari kantor berita ANTARA.
Tanggapan Beberapa Pihak Terkait RUU Wantimpres
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa tidak ada isu mendasar terkait perubahan kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari sudut pandang hukum tata negara.
Pernyataan ini disampaikannya sebagai tanggapan terhadap RUU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres (UU Wantimpres), yang telah disetujui sebagai RUU, melalui inisiatif DPR RI. Yusril menekankan bahwa perubahan ini dapat dilakukan tanpa melanggar prinsip-prinsip hukum yang ada.
“Hemat saya tidak ada persoalan mendasar yang kita hadapi dari perspektif hukum tata negara, mengenai perubahan kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain,” kata Yusril dalam keterangan yang diterima di Jakarta, dilansir dari Gemagazine dari kantor berita ANTARA.
Selain Pakar Hukum Tata Negara, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia juga memberikan kritikan terhadap isu tersebut. Pada akun resmi @bemui_official, ditulis “Geliat Jokowi dan keluarganya tidak pernah usai demi memperkuat kedudukan mereka. Dewan Perwakilan Rakyat akan membahas RUU untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang akan berubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Sederet kerancuan dan kecacatan menyertai perumusan ini, dari ketiadaan urgensi untuk membentuk Dewan Pertimbangan Agung, kemungkinan menaikkan dewan tersebut menjadi lembaga tinggi negara hingga peluang Jokowi untuk menjadi salah satu anggotanya.”
(nns/vmg)