Fenomena Fatherless di Indonesia
GEMAGAZINE – Fenomena fatherless di Indonesia telah menjadi isu serius meskipun masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat umum. Ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun emosional berdampak besar pada perkembangan anak. Menurut Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Indonesia berada di urutan ketiga di dunia sebagai fatherless country, menyoroti tingginya jumlah anak yang tumbuh tanpa kehadiran atau peran aktif ayah. Hal ini sering kali dipengaruhi oleh peran gender tradisional di mana ayah lebih dilihat sebagai pencari nafkah, sementara tanggung jawab pengasuhan anak sepenuhnya dibebankan kepada ibu.Dampak dari fatherless sangat signifikan terhadap psikologi dan perkembangan sosial anak. Anak yang tumbuh tanpa figur ayah sering mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan diri dan motivasi belajar, serta lebih rentan terhadap masalah perilaku, seperti penyalahgunaan NAPZA dan tindak kriminal. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran ayah, bukan hanya sebagai penyedia materi, tetapi juga sebagai pendidik, panutan, dan sumber kasih sayang yang penting dalam pembentukan karakter anak. Dilansir GEMAGAZINE dari ANTARA NEWS, Senin (16/09/2024).
Pengertian Fatherless
Fatherless di Indonesia merujuk pada kondisi di mana seorang anak tumbuh tanpa kehadiran ayah, baik karena perceraian, kematian, atau ayah yang tidak terlibat dalam kehidupan anak secara emosional maupun fisik. Fenomena ini berdampak pada perkembangan psikologis anak, terutama karena tidak adanya figur ayah sebagai panutan. Di Indonesia, fatherless juga sering kali disebabkan oleh ayah yang bekerja jauh atau terlalu sibuk sehingga tidak dapat terlibat secara aktif dalam kehidupan anak. Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam peran pengasuhan keluarga yang seharusnya melibatkan peran aktif dari kedua orang tua.
Ciri-ciri Fatherless
Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah sering kali menunjukkan beberapa ciri khas. Mereka biasanya kekurangan bimbingan paternal yang kuat, yang dapat memengaruhi perkembangan psikologis dan sosial mereka. Misalnya, mereka cenderung kesulitan membangun rasa percaya diri, lebih mudah merasa cemas, dan sering kali kesulitan dalam mengelola emosi. Secara sosial, anak-anak fatherless mungkin merasa canggung dalam berinteraksi, terutama dengan figur otoritas, dan bisa mengalami kesulitan dalam hubungan romantis di masa depan.
Mereka juga lebih berisiko mengalami masalah perilaku, seperti kenakalan remaja atau prestasi akademis yang rendah. Ketidakhadiran figur ayah sebagai penuntun atau panutan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perceraian, kematian, atau ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga absen secara emosional.
Dampak Fatherless bagi Perkembangan Anak
Dampak fatherless terhadap perkembangan anak sangat luas dan mencakup aspek emosional, sosial, dan psikologis. Secara emosional, anak yang tumbuh tanpa figur ayah sering merasa kesulitan dalam mengelola perasaan mereka. Ketiadaan dukungan emosional dari ayah dapat membuat mereka merasa kurang dihargai atau kehilangan identitas, yang kemudian dapat memicu perasaan rendah diri atau kesepian.
Di sisi sosial, anak yang mengalami fatherless sering kali mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat. Kehadiran ayah biasanya berfungsi sebagai model dalam hubungan interpersonal sehingga ketiadaannya membuat anak-anak ini lebih sulit mengembangkan keterampilan sosial yang baik. Mereka mungkin kesulitan mempercayai orang lain atau canggung dalam situasi sosial.
Dari segi psikologis, anak fatherless lebih rentan terhadap masalah mental, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan perilaku. Mereka mungkin merasa kehilangan arah atau kurangnya rasa aman yang begitu penting dalam pembentukan konsep diri yang sehat. Dampak jangka panjangnya bisa terlihat dalam kestabilan emosional dan psikologis ketika mereka dewasa, bahkan berpengaruh pada kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan hidup.
Cara Mengatasi Terjadinya Fatherless
Dalam menangani fatherless atau ketiadaan figur sang ayah dalam mendidik anak, dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan. Akses yang lebih baik terhadap layanan konseling keluarga, khususnya bagi ibu tunggal dan anak-anak, sangat penting untuk menjaga kesehatan mental mereka dan membantu mengatasi masalah emosional serta perilaku. Konseling psikologis juga berperan besar dalam memberikan dukungan bagi anak-anak yang rentan.
Selain itu, penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peran emosional ayah dalam pengasuhan anak. Program pendidikan publik, seperti kampanye media, seminar, dan lokakarya, dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Dengan cara ini, ayah didorong untuk lebih dari sekadar pencari nafkah, tetapi juga menjadi figur yang terlibat secara emosional dalam kehidupan anak-anak mereka.
Dukungan ekonomi bagi keluarga fatherless juga perlu diperhatikan. Bantuan sosial seperti subsidi pendidikan dan kesehatan, serta akses pekerjaan layak bagi ibu tunggal sangat membantu meringankan beban mereka. Dengan dukungan ini, ibu tunggal bisa lebih banyak meluangkan waktu bersama anak sehingga anak tetap dapat merasakan kehadiran orang tua yang terlibat secara emosional.
Fenomena fatherless di Indonesia menyoroti pentingnya keterlibatan ayah dalam perkembangan anak, baik secara emosional maupun fisik. Ketidakhadiran ayah berdampak pada kepercayaan diri, kestabilan emosi, hingga perilaku sosial anak. Untuk mengatasi dampak negatifnya, diperlukan dukungan yang lebih kuat dari pemerintah dan masyarakat. Program edukasi tentang peran ayah, akses konseling keluarga, serta dukungan ekonomi untuk ibu tunggal dapat membantu mengurangi dampak fatherless dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi anak-anak.
(daz)