Pembredelan Seni dan Isu Kebebasan Berekspresi

0

Foto: Antarafoto

GEMAGAZINE Setiap orang memiliki ruang untuk berjuang, termasuk melalui karya seni. Seni merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan. Seni sering kali digunakan sebagai media untuk mengekspresikan diri, pendapat, gagasan, bahkan kritik terhadap situasi sosial.

Sejarah mencatat bahwa seni digunakan sebagai bentuk perjuangan. Para seniman mampu menghasilkan karya dalam bentuk lukisan perjuangan yang menghipnotis dan membakar semangat para pejuang untuk membela tanah air. Dilansir Gemagazine dari setkab.go.id, Jumat (3/1/2025).

Sekarang, tidak semua pihak dapat memahami cara menghargai seni. Hal ini tercermin pada maraknya kasus pelanggaran kebebasan berkesenian melalui pembredelan dan pembungkaman pameran seni yang dianggap tak layak tampil di muka umum.

Pembredelan tidak hanya berdampak pada seniman, tetapi juga pada masyarakat yang berhak mengakses berbagai bentuk ekspresi seni. Dengan membatasi ruang gerak seni, pembredelan menjadi simbol dari represi terhadap kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembredelan?

Apa Itu Pemberdelasi?

Pembredelan merupakan padanan kata yang merujuk pada aktivitas pelarangan, penghentian, penghentian, dan penutupan paksa terhadap media massa, publikasi, atau kegiatan tertentu.

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pembredelan atau pelarangan Penyiar adalah menyebarkan dan menyebarkan atau menyiarkan secara paksa atau melawan hukum. Umumnya, pembredelan dilakukan sebagai respons terhadap isu yang dianggap terlalu kritis, mengganggu pihak berwenang, atau memicu kontroversi di kalangan tertentu.

Berdasarkan definisi tersebut, pembredelan seolah melekat pada dunia pers. Media massa seperti koran, majalah, dan surat kabar menjadi objek utama yang rentan terhadap tindakan ini. Alasannya beragam, mulai dari kritik terhadap kebijakan pemerintah hingga pengungkapan isu sensitif yang dianggap mengancam stabilitas politik atau sosial.

Namun, pembredelan tak hanya menyasar media massa. Buku, film, teater, bahkan pameran seni juga kerap menjadi sasaran pembredelan. Contohnya adalah pembatalan dan pembatalan pameran seni Yos Suprapto di Galeri Nasional pada Kamis, 19 Desember 2024 silam.

Pembungkaman Ekspresi Lewat Pelarangan Pameran Seni

Penghentian pameran seni baru saja terjadi pada Yos Suprapto, seorang pelukis senior. Pameran bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” semula diadakan pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025 di Galeri Nasional Indonesia. Namun, sehari sebelum dibuka, pameran dibatalkan.

Yos Suprapto beranggapan pembatalan terjadi karena kurator Galeri Nasional Indonesia (GNI), Suwarno Wisetrotomo, meminta lima lukisannya yang berkaitan dengan salah satu tokoh di Indonesia diturunkan, tetapi Yos menolak. Menurutnya, lebih baik membatalkan pameran daripada menampilkan sebagian lukisannya.

“Saya menunggu direktur GalNas (Galeri Nasional) yang katanya sedang ada pertemuan di Senayan. Tapi kalau menunggu terlalu lama, saya akan mendatangi Satpam untuk meminta kunci. Hari ini, saya akan turunkan karya-karya saya,” kata Yos kepada media. Dilansir Gemagazine dari Antara News pada Jumat, (3/1/2025).

Sedangkan menurut Penanggung Jawab Unit Galeri Nasional Indonesia, Jarot Mahendra berpendapat bahwa kabar pembredelan seni seperti yang beredar di masyarakat hanya salah paham. Menurutnya yang terjadi adalah penundaan pameran hingga semua pihak sepakat.

“Yang perlu diluruskan adalah tidak ada pembatalan pameran, apalagi pembedelan seperti yang berkembang di luar. Ini murni penundaan, karena kami masih menunggu kesepahaman dan kesepakatan antara seniman dan kurator,” ungkap Jarot.

Pelarangan Berkesenian di Mata Hukum

Kejadian yang menimpa Yos Suprapto jelas bukan kali pertama. Koalisi Seni, dalam penelitiannya yang berjudul “Stop Stigmatisasi Seni Terus: Kondisi Kebebasan Berkesenian 2022,” mencatat sebanyak 33 kasus pelarangan berkesenian sepanjang tahun 2022.

Kemudian, dari pemantauan media oleh Koalisi Seni, tercatat sebanyak 37 peristiwa pelanggaran berkesenian sepanjang tahun 2023. Sebanyak 27 peristiwa pelanggaran terjadi di seni musik, 3 peristiwa di seni film, 3 peristiwa di seni teater, 2 peristiwa pelanggaran pada seni tari, serta peristiwa pelanggaran pada seni sastra dan seni rupa masing-masing sebanyak 1 kali.

Padahal sejatinya, setiap individu memiliki hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk lewat kesenian. Menanggapi kasus yang terjadi pada Yos Suprapto, LBH Jakarta mengungkapkan bahwa hak tersebut dijamin dalam kerangka hukum nasional maupun prinsip-prinsip HAM internasional.

“Sejatinya, berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap orang yang dijamin dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” dilansir Gemagazine dari bantuanhukum.or.id, Jumat, (3/1/2025).

(nn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *