Kebebasan Pers Terancam: Alasan, Kasus, dan Landasan Hukumnya

Foto: Shalsabhilla Putri
GEMAGAZINE — Kebebasan pers merupakan pilar utama demokrasi. Namun, nahas, media sering menghadapi ancaman dan intimidasi. Kasus-kasus seperti pengiriman kepala babi ke kantor Tempo menunjukkan pers masih jadi sasaran empuk tindakan represif. Situasi ini menimbulkan pertanyaan, apa penyebabnya?
Ancaman terhadap pers tidak hanya datang dari pihak eksternal, tetapi juga melalui regulasi yang dapat disalahgunakan. Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat jurnalis menjadi contoh bagaimana hukum dapat menjadi alat represif. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap UU Pers, sehingga penyelesaian sengketa pers seringkali tidak sesuai prosedur.
Mengapa Pers Rentan Terkena Tindakan Represif?
Sejatinya kebebasan pers terjamin dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, termasuk independensi dan keselamatannya. Namun, menurut Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang dirilis oleh Yayasan Tifa, PPMN, dan HRWG bersama Populix, kekerasan terhadap jurnalis masih mengakar kuat, terutama di masa transisi pemerintahan. Dari 760 jurnalis yang disurvei, 25% mengaku mendapat intimidasi, 23% menghadapi ancaman langsung, 26% dilarang memberitakan isu tertentu, dan 44% dicegah meliput di lapangan.
Salah satu alasan utama adalah kurangnya pemahaman dan penghormatan terhadap kebebasan pers oleh berbagai pihak. Banyak individu atau kelompok yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, memilih jalur intimidasi daripada mekanisme hak jawab yang diatur dalam UU Pers. Selain itu, regulasi seperti UU ITE memiliki pasal-pasal karet yang dapat digunakan untuk membungkam jurnalis, terutama pasal tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa pasal 27 dan 28 UU ITE sering disalahgunakan untuk menjerat jurnalis. Dalam publikasi “Panduan Advokasi Jurnalis dari Jerat UU ITE dan KUHP” AJI menjelaskan bahwa pasal-pasal tersebut bersifat multitafsir dan kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi serta pers.
Kasus Intimidasi Pers di Indonesia
Berikut adalah beberapa kasus yang mencerminkan ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia:
1. Teror Kepala Babi ke Kantor Tempo (Maret 2025)
Paket berisi kepala babi dikirim ke kantor Tempo, ditujukan kepada jurnalis Francisca Christy Rosana. Dewan Pers mengutuk keras tindakan ini sebagai bentuk nyata teror terhadap independensi pers.
2. Kasus Jurnalis Medan, Ismail Marzuki (2020)
Ismail dilaporkan dengan UU ITE karena pemberitaannya dianggap mencemarkan nama baik istri Gubernur Sumatera Utara. Kasus ini menunjukkan bagaimana UU ITE dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis.
3. Kasus Jurnalis Kontra.id, Tuah Aulia Fuadi (2020)
Tuah dilaporkan oleh Bupati Batubara dengan UU ITE setelah menerbitkan artikel kritis. Ini mencerminkan bagaimana pejabat publik dapat menggunakan hukum untuk menekan kebebasan pers.
4. Intimidasi terhadap Pers Mahasiswa
Selain kasus-kasus sebelumnya, pers mahasiswa juga tidak luput dari tekanan. Mereka sering menghadapi sensor dan ancaman dari pihak kampus ketika memberitakan isu-isu sensitif. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan represif terhadap pers tidak hanya terjadi di level nasional, tetapi juga di lingkungan akademik.
Landasan Hukum dan Perlindungan Pers
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi payung hukum yang menjamin kebebasan dan perlindungan kerja jurnalistik di Indonesia. Dalam pasal 4 ayat (1), UU ini menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Perlindungan tersebut diperkuat dalam ayat (2) dan (3) yang menyatakan bahwa pers tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran, serta berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi kepada publik.
UU Pers juga memberikan jaminan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. Pasal 8 menerangkan bahwa wartawan berhak mendapat perlindungan hukum, terutama ketika menghadapi ancaman atau kriminalisasi atas karya jurnalistik yang mereka terbitkan. Sementara itu, Pasal 18 ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa siapapun yang menghalangi atau menghambat kemerdekaan pers dapat dipidana dengan hukuman penjara maksimal dua tahun atau denda hingga lima ratus juta rupiah.
Selain itu, Dewan Pers turut memperkuat perlindungan melalui Peraturan Dewan Pers No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Pers yang menekankan pentingnya penyelesaian sengketa pers melalui hak jawab, hak koreksi, atau mediasi. SKB UU ITE 2021 juga mengingatkan bahwa produk jurnalistik yang sesuai dengan UU Pers tidak bisa dikenai pidana melalui UU ITE. Sayangnya, meskipun regulasi ini sudah jelas, banyak aparat hukum di lapangan yang masih mengabaikannya, sehingga jurnalis tetap menjadi sasaran kriminalisasi.
(aan)