Aku, Kamu, dan Percakapan Malam Itu
Namanya Cirrus, anak pertama dari empat bersaudara, dan kemarin baru saja menginjak kepala dua. Mungkin ketika pertama kali bertemu, perangainya terlihat dingin hingga membuat orang lain enggan untuk mendekat bahkan sekedar bertegur sapa. Padahal, ketika berbicara mengenai banyak hal, kata-katanya begitu hangat seakan mampu meluluhkan bongkahan es yang teramat besar.
Aku mengenalnya sejak kami menginjak kelas sebelas sekolah menengah, dan aku masih ingat jelas kalimat pertama yang aku ucapkan ketika ia pertama kali memberitahu nama indahnya.
“Namamu sama seperti awan yang hadir ketika langit sedang cerah-cerahnya, ya. Kenalkan, aku Langit.”
Ya, namaku Langit. Dan pertemuan kami merupakan sebuah kebetulan yang lucu.
Awalnya sedikit sulit untuk mendekati Cirrus. Ia tidak banyak bicara, dan cenderung menghentikan pembicaraan jika dirasa topiknya tidak begitu menarik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semesta seakan mengerti bahwa ketika Langit tidak pernah meminta Cirrus untuk hadir, ia datang dan menetap dengan sendirinya.
***
Malam itu semuanya terlihat baik-baik saja. Jalanan yang penuh dengan kerlap lampu kendaraan, suara klakson yang bersahutan dengan melodi gitar musisi jalanan, juga percakapan kecil dan gelak tawa orang-orang yang singgah di emperan jalan.
Aku mengeluarkan ponsel untuk membalas beberapa pesan masuk, abai dengan hingar-bingar di sekitar. Bagiku, semua itu merupakan hal yang biasa, pemandangan sehari-hari. Daripada itu, ada hal lain yang jauh lebih penting.
Malam ini aku akan bertemu dengan Cirrus, Setelah sekian lama tidak bertatap wajah secara langsung, gadis itu mengajakku untuk bertemu. Katanya, sebagai bentuk perayaan ulang tahun yang belum lama berlalu.
Aku memasuki salah satu tempat makan yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus, berdiri beberapa saat untuk mencari gadis yang sejak tadi mengirimiku pesan.
Baju hitam, dekat jendela, bangku untuk berdua.
Nah! Di situ rupanya. Tanpa ragu, aku melangkah mendekat. Sedikit iseng, aku menepuk bahu gadis itu dengan tiba-tiba. Pasti dia akan terkejut.
“Hoi!”
Aku menarik bangku, duduk di hadapan Cirrus yang sempat terkejut dengan kehadiranku.
“Astagaaaa, Langit! Ngagetin, tau nggak?”
Tuh, kan, dia kaget. Aku hanya bisa tertawa karena respon yang ia berikan begitu lucu.
“Lama nunggu?”
“Sebentar kok, sebentar banget sampai makanan yang aku pesen udah keburu habis,” Cirrus berucap dengan senyum. Namun, aku tahu betul jika jauh di dalam hatinya, ia sedang kesal.
“Maaf, deh, tadi ada kelas tambahan dadakan. Dosennya emang suka gitu, rese. By the way, kamu apa kabar?”
“Keliatannya gimana?”
“Yah, nggak jauh berbeda, sih. Tetep keliatan judes dan nggak friendly, bikin takut mau nyamperin,” sebuah pukulan pelan aku dapatkan atas jawaban barusan, disusul dengan tawa, dan omelan khas milik Cirrus.
“Dan kamu tetep nyebelin, ya, Langit Bagaskara!”
Saat itu, aku menimpali jawaban Cirrus dengan tawa. Ternyata tidak ada yang berubah. Cirrus tetaplah gadis lucu berwajah dingin, dan aku, Langit, tetaplah sosok menyebalkan yang selalu berhasil membuat Cirrus kesal setengah mati dengan tingkahku.
Kami membicarakan banyak hal pada malam itu. Mulai dari Cirrus yang kerap kali merasakan homesick, dosen di kampusku yang tidak jelas, kucing peliharaan baru milik keluarga Cirrus, bahkan kenangan saat kami masih mengenakan seragam putih abu-abu yang sebagian besar berisi cerita konyol, penuh dengan kenalakan kami pada masa itu.
“Tapi kalau dipikir-pikir, senakal-nakalnya aku sewaktu sekolah dulu, aku tetap merasa senang, ya. Coba sekarang, boro-boro, terlalu banyak pikiran,” aku menyesap secangkir latte yang kupesan, kemudian beralih menatap Cirrus yang saat itu tengah memandang ke arah jendela.
Ternyata di luar sedang hujan. Aku bahkan sampai tidak sadar karena terlalu larut dalam pembicaraan kami.
“Iya. Entah kenapa semakin bertambah usia, aku malah merasa semakin susah untuk bahagia,” Cirrus berucap dengan suara pelan, tidak menggebu-gebu seperti biasanya.
Tumben.
“Kenapa gitu?”
“Hmm,” ia menopang dagu, sedikit membenarkan letak kacamatanya, “Mungkin karena aku selalu dituntut untuk begini, dan begitu oleh orang-orang di sekitar.”
Gadis dengan pipi tirus itu mengetukkan jarinya ke meja beberapa kali.
“Kadang aku nggak habis pikir aja. Mereka cuma mau melihat apa yang ingin mereka lihat, dan mendengar apa yang ingin mereka dengar. Kebebasan untuk mengekspresikan diri seperti dikekang oleh komentar dan penilaian orang lain terhadap apa-apa aja yang aku lakukan.”
Aku terdiam, mencoba untuk memahami kata demi kata yang keluar dari mulut Cirrus.
“Padahal, sifat, mimpi, dan persepsi orang-orang ‘kan beragam, tapi malah disuruh untuk seragam. Ada yang beda sedikit, dijadiin bahan omongan, dikomentari ini-itu. Mereka ‘kan juga memiliki alasan kenapa mereka melakukan hal tersebut.”
Aku mengangguk pelan, mengerti akan maksud yang ingin disampaikan oleh Cirrus melalui kalimat yang ia utarakan. Bukan masalah baru, karena memang sejak dulu hal itu sering terjadi.
Orang-orang terlalu banyak menuntut, sampai lupa bahwa sebenarnya kepentingan antara satu sama lain itu berbeda. Terlalu banyak menuntut hingga lupa bahwa pada dasarnya, apa yang dimiliki oleh setiap orang itu tidak harus sama.
“Yah, mau gimana.,. yang namanya manusia memang nggak pernah puas. Kadang jadi omongan cuma karena berbeda. Padahal, perbedaan itu membuat setiap orang jadi memiliki daya tariknya sendiri.”
“Iya, betul, tapi nyatanya karena perbedaan itu, tanpa sadar kita jadi membandingkan satu sama lain.”
“Ya, kalau kayak gitu, jelas susah untuk bahagia.”
Aku memandang jauh ke jalan yang sedang terguyur hujan kala itu. Puluhan manusia melintas, ada yang mengenakan payung, menerobos begitu saja, berlindung di dalam kendaraan, dan berteduh sejenak hingga hujan reda.
“Tuh, lihat ke luar.”
Cirrus mengikuti arah pandangku, menatap ke arah luar jendela. Bedanya, gadis itu tidak mengerti mengapa aku menyuruhnya melakukan hal serupa—memandang ke luar jendela.
“Kenapa?”
“Bahkan cara setiap orang ketika menghadapi datangnya hujan berbeda, ‘kan?”
Aku tersenyum sesaat sebelum melanjutkan, “Orang-orang nggak tau apa yang sudah kamu lalui hingga kamu bisa sampai di sini. Babak-belurnya kamu, nangis darahnya kamu, mereka nggak tau. Begitupun sebaliknya. Setiap orang punya cerita jatuh bangunnya masing-masing, Cirrus. Dan cara mereka untuk mengatasinya juga berbeda, kamu dengan caramu sendiri, aku dengan caraku sendiri, dan mereka dengan cara mereka sendiri.”
Cirrus menatapku, tatapan penuh arti yang sulit untuk aku mengerti. Entah, mungkin gadis itu masih belum paham dengan perkataanku barusan.
“Tujuan kita sama, timing-nya yang beda. Nggak perlu iri, nanti juga timing kamu akan tiba. Lebih penting dari itu, tetap berusaha. Jangan pikirkan omongan orang lain yang malah menjatuhkan kamu. Itu cuma buang-buang waktu,” Aku melanjutkan, kali ini diakhiri dengan meminum latte pesananku hingga habis.
Setelah itu, keheningan menghampiri. Hanya terdengar suara hujan, dan dua manusia yang larut dalam pikiran mereka masing-masing. Tidak tahu memikirkan apa. Namun yang jelas, Langit, Cirrus, dan percakapan malam itu, mampu mengubah cara mereka dalam memandang suatu hal, bahkan hal sederhana seperti hujan sekalipun.
Penulis : Ditrisha
Sumber gambar: Coub