Dalam perkembangan dunia digital, khususnya bidang teknologi informasi, buzzer dan influencer menjadi sebuah kampanye digital baru. Kita semua tahu bahwa mayoritas masyarakat di dunia ini memiliki akun media sosial, dari masyarakat biasa, kalangan para artis, hingga pemerintah pun memilikinya. Mereka yang memiliki jumlah followers banyak dapat memberikan pengaruh besar terhadap audiensnya.

Dalam Seminar Bersama GEMA (SEMASA) 2020 sesi 2 yang digelar pada Sabtu (6/6) melalui Google Meet, menghadirkan Istiqomatul Hayati yang merupakan seorang jurnalis sekaligus menjabat sebagai Redaktur Tempo.co.

Topik utama seminar ini membahas mengenai Social Media Influences In Public Opinion. Dalam materinya, Istiqotimatul Hayati memaparkan bahwa pada dasarnya influencer dan buzzer banyak dipakai oleh berbagai bisnis dalam memasarkan atau mempromosikan sebuah barang dan jasa. Adapun lima kriteria utama dalam menentukan seorang influencer, yaitu jumlah followers, keahlian atau spesifikasinya, reputasi influencer, biaya jasa, serta tingkat engagement.

Menurut Isti, mayoritas masyarakat terutama anak-anak muda sekarang cenderung menonton Youtube ketimbang televisi, bahkan banyak yang sudah meninggalkannya. Biasanya, yang paling banyak ditonton ialah tayangan yang menyangkut sensasi. Jarang sekali ada yang mau menonton tayangan-tayangan berat, untuk mencapai penonton lebih dari 2000 orang saja sulit. Isti mengambil contoh video salah satu youtuber Kekeyi, yang dibilang jiplakan oleh banyak orang dan dapat mencapai 20 juta penonton dengan cepat.

Bad influencer itu jauh lebih gampang terpatok di dalam top of mind-nya masyarakat kita. Karena sensasinya menyangkut emosi yang membuat kita ikut-ikutan bereaksi, dan menonton channel-nya hanya untuk mencela,” ujar Isti.

Isti menambahkan, konten di media sosial itu tergantung pasar dan kebanyakan konten-konten tersebut bukan untuk edukasi. Itu menjadi catatan penting bagi kampus-kampus dan masyarakat untuk memberikan konten yang lebih bermanfaat, misalnya seperti konten-konten yang dibuat oleh Deddy Corbuzier.

Bagaimana strategi Isti sebagai bagian media nasional menghadapi buzzer-buzzer?

Istiqomatul Hayati sedang menjelaskan materi pada SEMASA 2020 sesi 2. Foto: Dok. Pribadi

“Pengaruh buzzer memang luar biasa, contohnya Denny Siregar dengan ratusan ribu orang followers-nya. Ia mengajak orang untuk memberikan rating 1 ke Tempo.co, Detik pun kena imbasnya,” ujar Isti saat menjelaskan rating aplikasi Tempo.co di Playstore.

Hal itu merupakan tantangan bagi media-media sekarang. Isti mengaku bahwa terkadang, ia frustrasi membicarakan strategi melawan buzzer-buzzer tersebut karena kecenderungan masyarakat Indonesia hanya membaca atau menonton berita yang disukai saja. Kalau tidak suka pasti ditinggalkan atau berita tersebut di-bully.

“Kita berusaha untuk tidak menjadi corong pemerintah. Kalau pemerintah bagus, ya, kita apresiasi, kalau pemerintah buruk, ya, kita kritik. Harus ada kontrol pemerintah yang sangat fokus gitu, lho,” ujar Isti.

Isti juga menambahkan kalau media-media nasional sedang menghadapi teror-teror dari buzzer pemerintah. Dengan nada tertawa, Isti mengakui bahwa posisi Tempo.co saat ini mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang mau tidak mau, menurutnya rezim kedua Jokowi ini sedikit mendekati Orde Baru.

SEMASA Sesi 2 ditutup dengan tips yang diberikan Isti kepada peserta, yaitu dengan menjauhkan gadget setiap makan, dan menyingkirkannya selama satu jam. Itu diharapkan dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap gadget. Coba juga mengenal lebih dekat keluarga, serta bicara dan ceritakan keluhan kita tentang hari ini juga diskusikanlah bagaimana solusi untuk esoknya.

Reporter: Muhammad Arya Nugraha

Editor: Tasya Sherina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *