Polemik Pengesahan RUU Cipta Kerja
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja pada Senin (5/10). Namun, sejumlah polemik menghiasi pengesahannya. Rakyat menilai pengesahan RUU ini tidak mewakili suara rakyat, tetapi justru merenggut hak rakyat di sektor ketenagakerjaan.
RUU Cipta Kerja merupakan produk hukum yang ditawarkan pemerintah terkait penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi khusus.
Pasal-pasal yang terdapat di RUU Cipta Kerja banyak menuai protes dari semua kalangan, terutama buruh. Bagi mereka, pengesahan RUU ini sangat melegalkan pengusaha untuk berlaku semena-mena terhadap hak pekerja ke depannya.
Pasal-pasal kontroversial versi Amnesty International di antaranya Pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu dengan skema pemberian upah ditentukan oleh pemberi kerja, bukan berdasarkan tarif dari pemerintah. Lalu, Pasal 88C yang menghapuskan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal ini akan memukul rata standar upah minimum di semua kota dalam satu provinsi dan berpotensi besar diseragamkan dengan upah minimum kabupaten terendah. Kemudian, RUU Cipta Kerja juga meniadakan bentuk cuti berbayar dalam Pasal 93 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan. Hal ini dinilai sangat merugikan pekerja perempuan, terutama mengenai cuti haid, cuti acara keluarga, cuti orang tua, hingga cuti hari raya keagamaan.
Aksi kegeraman rakyat terlihat jelas melalui media sosial khususnya Twitter. Tagar-tagar seperti #OmnibusLawSampah, #DPRRIKhianatiRakyat, #GagalkanOmnibusLaw, hingga #DPRIMPOSTOR masih menguasai topik teratas yang sedang hangat dibicarakan. Seluruh tagar ini dicuitkan sebagai bentuk protes secara tertulis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai sangat terburu-buru dan mengesampingkan aspirasi rakyat.
Selain itu, bentuk protes juga dilakukan melalui penandatangan petisi yang berjudul Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik, oleh Pdt. Penrad Siagian yang ditujukan untuk Ketua dan para Wakil Ketua DPR RI, serta Presiden Joko Widodo. Hingga tulisan ini dinaikkan, sudah terdapat 1.084.375 dari target 1.500.000 tanda tangan.
Dilansir dari Kompas TV, para buruh serentak melakukan aksi mogok nasional pada Selasa (6/10). Di Bandung misalnya, titik aksi terdapat di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat dan di depan kantor Balai Kota Bandung. Tujuan aksi ini antara lain untuk menyampaikan beberapa keberatan mengenai jaminan sosial, jam kerja, hak pesangon, dan hilangnya hak cuti. Mengingat masih dalam masa pandemi, pelaksanaan aksi ini dilakukan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Penulis: Indah Sholihati
Penyunting: Syifa Aulia
Sumber ilustrasi: freepik.com