Refleksi Tabir Kepentingan, Apakah Revolusi Keadaan Diperlukan?
Sejarah merupakan suatu hal yang tak akan luput untuk dikenang. Beragam kejadian sudah sering menghiasi kampus Politeknik Negeri Jakarta, hingga jati diri kampus ini dikenal sebagai kampus perjuangan. Segala hal didoktrinkan untuk mahasiswa bahwa kampus ini, ya, kampus jalanan. Memperjuangkan kepentingan rakyat katanya selalu diutamakan. Alhasil, jabatan senantiasa dijadikan ladang dakwah para kalangan. Inilah sebuah pengantar tulisan dari mantan mahasiswa pemangku kepentingan yang gagal merevolusi keadaan.
Berbicara tentang refleksi, tentu kita patut untuk mengetahui bagaimana kondisi kampus kita sebelum saat ini. Hal ini agar dapat dijadikan sebuah cerminan, sudah sejauh mana kampus ini mundur dari nilai kemanusiaan? Menjadi sebuah tanya, mengapa tolok ukurnya malah mundur dari nilai kemanusiaan alih-alih sebaliknya?
Hal ini didasarkan pada sebuah realita yang hadir di kampus Politeknik Negeri Jakarta. Pendoktrinan kepada mahasiswa baru selalu nampak diutamakan oleh suatu kalangan di acara tertentu untuk memperkokoh pondasi kepentingannya. Kebebasan (liberation) yang menjadi esensi mahasiswa kini sudah mulai hilang, karena hadirnya sebuah doktrinisasi kepentingan kalangan. Slogan kampus merdeka nampaknya sudah tak lagi relevan, apalagi di kampus kita tercinta, Politeknik Negeri Jakarta. Nyatanya, mahasiswa tidak diajarkan untuk berkumpul secara merdeka, apalagi berpikir secara merdeka. Inilah hal yang menyebabkan mundurnya nilai kemanusiaan.
Mundurnya nilai kemanusiaan ini menjadi sebuah tabir kepentingan yang nampaknya selalu dipertahankan. Hal ini bisa ditinjau dari sejarah kampus kita tentang kejadian yang dikenal dengan Empat Delapan (48). Kejadian ini menjadi saksi bagaimana tabir kepentingan di kampus muncul di permukaan. Menjadi bahan perdebatan, siapa dalang dari setiap kejadian saat itu? Ironinya, pionir pencipta sejarah itu datang dari lembaga eksekutif tertinggi di kampus. Kejadian ini sampai menciptakan kegaduhan yang memantik mahasiswa untuk berpikir merdeka. Namun, seiring bergantinya zaman, nampaknya mahasiswa era sekarang sudah mulai melupakan sejarah tersebut. Alhasil, nilai kemanusiaan pun turut mundur. Padahal, The Founding Father kita, Bung Karno, pernah mengatakan pada pidatonya, “Jas Merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Ini adalah sebuah cambuk bagi mahasiswa. Kita menyatakan bahwa kita adalah agen perubahan, tetapi sejarah kampusnya saja dilupakan.
Lanjut zaman, di era penulis memimpin lembaga eksekutif tertinggi di kampus pun tak elok jika tidak diwarnai isu kepentingan pada saat itu. Gejolak sempat hadir di masa jabatan dengan latar belakang organisasi ekstra kampus, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yang saat itu juga dianggap membawa kepentingan tertentu. Namun, nyatanya penulis tak ragu untuk mengungkapkan bahwa pada masa awal kampanye, penulis memang berlatar belakang demikian. Penulis memiliki maksud ingin memantik mahasiswa untuk berpikir merdeka tentang menentukan keputusannya, bukan keputusan berdasarkan instruksi atasannya. Keterbukaan inilah yang sepertinya dibutuhkan agar tidak ada tabir kepentingan seperti peristiwa Empat Delapan (48) yang disebabkan oleh mengikuti instruksi atasan untuk menutupi kepentingan kalangannya yang bersemayam di lembaga-lembaga kampus selama puluhan tahun.
Masuk ke era sekarang, menjadi sebuah tanya bagi penulis, apakah tabir kepentingan itu masih bersemayam di lembaga kampus kita saat ini? Mengingat perjuangan untuk merevolusi keadaan dengan jalur legal formal, tetapi perubahan perundang-undangan di kampus tak kunjung usai dengan berbagai dalih keadaan. Sebuah tanya, apakah pemangku kepentingan saat ini tak paham kewenangan dan kewajiban? Ataukah para pemangku kepentingan senantiasa ingin menutupi tabir kepentingan itu sendiri hingga rela melimpahkan semua tanggung jawab ke masa yang akan datang dengan prosedur yang tidak sesuai ketentuan hukumnya?
Apakah ada harapan untuk pemangku kepentingan di masa mendatang dengan pelimpahan semua kewenangan dan kewajiban pemangku kepentingan saat ini? Apakah revolusi keadaan diperlukan? Apakah mahasiswa memang sudah mulai terbiasa dengan pengerdilan pola pikir dari instruksi atasan, atau bahkan mahasiswa benar-benar sudah tak paham berpikir secara merdeka akibat pengebirian produk hukum kita selama ini? Inilah sedikit pengantar akhir yang diambil dari potongan lagu milik Eńau yang berjudul Negara Lucu, “Sudut pandangku tentang mereka, yang tanya banyak membaca, katanya sekolah tapi otaknya mana, tolong dirubah pola fikirnya.” Demikian sebuah kacamata dari mantan mahasiswa pemangku kepentingan yang gagal untuk merevolusi keadaan.
Kontributor: Iqbal Fauzan (Ketua BEM PNJ 2018—2019/Kabid Hikmah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Depok)
Penyunting: Zikra Mulia Irawati
Sumber ilustrasi: Freepik