Suara denting halus terdengar tidak akrab. Hari ini, aku kembali sarapan bersama keluargaku sebelum berangkat kerja. Saat kulongok, mereka sibuk membisu sambil menyendok suap demi suap nasi dan lauk-pauknya.

Aneh sekali, rasanya asing meskipun sudah jadi kebiasaanku selama beberapa tahun terakhir. Diamnya mereka justru membuatku tak nyaman. Dimana aturan-aturan dan caci-maki yang biasa kudapat dulu?

Waktu kuceritakan pada teman-teman sekantor, mereka bilang aku merindukan masa kecilku. Katanya, aku rindu kehangatan dan celotehan mereka saat aku masih remaja. Jujur, jawaban itu tak memuaskanku sama sekali. Bukannya merasa sesak karena menyadari kesepian, aku justru makin bingung.

Kuakui, aku merasa lega dan bebas dari makian mereka. Tapi, ada satu-dua hal yang sangat mengganggu. Meskipun hidupku terlihat normal sekarang—aku sarapan dan saling menyapa seisi rumah saat berjumpa—, rasanya aku ketakutan akan sesuatu yang mungkin terjadi lagi.

Seperti tak mungkin suasana-suasana itu menghilang begitu saja.

“Di dunia ini, nggak ada yang bisa kamu percaya. Semua orang punya motif, nggak mungkin orang-orang baik ke kamu tanpa ingin sesuatu,”

“Kamu cuma bisa segini, buat apa sekolah dan kuliah? Kalau ini sih kamu les atau saya ajari aja juga bisa.”

“Jangan gampang baper, emang ada orang yang benar-benar peduli?”

“Kamu itu sama kayak ay—”

Ngapain kamu bengong?” tanya Ibu membuyarkan kilas balik yang berputar di otakku. “Ah, nggak. Kepikiran deadline aja,” tukasku singkat.

Setelah menghabiskan sarapan dan minum, aku pamit tanpa mencium tangan mereka. “Aku berangkat,” pamitku, yang tidak dijawab barang dengan anggukan singkat.

Aku juga tidak peduli. Justru aneh kalau tiba-tiba ada suara “hm” atau “ya” setelah aku mengucap salam.

Sepertinya aku paham sekarang. Mereka ingin menanamkan pikiran itu padaku. Ibaratnya, mereka menyiramiku dengan air dan memberiku pupuk khusus sehingga aku jadi seperti ini. Saat aku sudah tumbuh, aku terbiasa dengan pikiran itu. Tanpa mereka pinta, tanpa mereka ingatkan, tanpa mereka maki, aku sudah terbiasa dan mengenali diriku seperti itu. Aku tidak berguna, tidak percaya, tidak ingin kalah, tidak ingin dibilang tak berusaha.

Jika aku gagal sekali, maka yang memakiku bukan lagi orang lain, tapi diriku sendiri.

Bodoh. Segini aja aku nggak bisa? Aku punya kaki dan aku harus berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tidak boleh mudah percaya dan bergantung pada orang lain. Sifat licik manusia itu menakutkan.

Sifat emosional ini mengganggu.

Jawab aku. Bukankah sekarang aku yang terlihat menakutkan? Aku tidak tahu, sejak kapan semua hal ini jadi salah.

“Aku ngapain, ya, hari ini?” batinku. Kebiasaan yang entah baik atau buruk, aku selalu merencanakan apa yang akan kulakukan dalam satu hari. Setelah merancang apa yang kuinginkan, aku mengikuti waktu dan tetiba saja sudah empat jam aku bergelut dengan pekerjaanku: editor di sebuah perusahaan surat kabar daerah.

Sekarang aku sudah bekerja. Kedua orang tuaku tak lagi mencaciku atas segala sesuatu yang aku kerjakan. Padahal, dulu mereka selalu mengomentari setiap usahaku dan bilang kalau semua yang kulakukan tidak pernah benar-benar berguna.

Aku ingin bebas. Aku ingin jadi lebih emosional dan menyayangi semua orang. Aku ingin berhenti peduli dengan kompetisi, lalu hanya menjalani pekerjaanku secukupnya dan hidup dengan hati yang lembut.

Keinginan besar itu membuatku mendekati banyak orang—rekan kerja, komunitas yang santai, atau bahkan pegawai kafe yang seumuran denganku—dan berbincang dengan mereka. Aku bercerita banyak hal, termasuk tentang batinku yang terasa aneh karena khawatir akan suasana yang sudah berlalu.

Sayangnya, mereka tidak terlalu serius merespon ceritaku. Jawaban mereka tak jauh dari ‘jangan terlalu dipikirkan’ atau ‘apa yang kamu khawatirkan? Kelihatannya kamu baik-baik saja, kok. Kamu ceria. Coba jangan terlalu membesarkan masalah, paling-paling kamu hanya rindu masa kecilmu.’

Padahal aku percaya … mungkin dengan bercerita, beban aneh di hatiku ini bisa berkurang. Namun, jawaban mereka malah membuatku yakin kalau aku memang punya kesulitan menjalin ikatan emosional dengan orang lain. Aku gagal membuat mereka memahamiku.

Ada satu jawaban yang membuatku begitu tertegun dan merasa bodoh. Aku tak mengenalnya, dia cuma seorang laki-laki yang duduk di belakangku saat aku bercerita dengan rekan kerja. Sepertinya, dia pegawai baru … atau hanya orang asing yang punya keperluan dengan salah satu orang di kantor ini.

“Kayaknya, kamu sadar kalau apa yang kamu dapat dari orang tuamu bukan hal yang baik. Kenapa kamu cuma menyalahkan mereka dalam hati? Beri tahu mereka, kamu merasa nggak nyaman dan jadi kurang menghargai dirimu sendiri—”

Tut-tut-tut-

“—jadi kamu nggak perlu sampai mimpi hal rumit tentang masa depan kayak begini.”

TUT.

Suara dering ponsel sukses membuka mataku. Selama beberapa menit, aku kebingungan mencerna apa yang baru saja terjadi.

Nama seseorang terpampang di layar ponselku. Nama salah satu teman kuliah yang entah bagaimana selalu sekelompok denganku di banyak tugas.

“Halo?”

“Van, jangan lupa bawa makalah buat presentasi hari ini, ya.”

“Hah?”

“’Hah? Makalah sosiologi! Lo masih ngantuk, yaa? Ayo bangun, haha.”

Bak diterpa angin, kesadaran hinggap begitu cepat padaku. Aku masih mahasiswi dan aku punya presentasi penting hari ini! Apa-apaan mimpi tadi? Apa aku sebegitu penginnya jadi seorang editor?

—————

Suara denting halus terdengar begitu akrab. Kenapa? Karena suara sunyi itu hanya bertahan sebentar. “Pagi ini ada kelas apa?” tanya Ayah sembari melongok makalah yang kuletakkan di samping piringku.

“Sosiologi,” jawabku. “Ada presentasi.” Aku menunjuk judul makalah “Pembentuk Ikatan antara Tayangan Media Massa dan Pemirsanya” dengan tidak antusias.

“Kamu paham materi itu? Coba jelasin sedikit, paling juga nggak mendalam,” Ayah menghentikan makannya dan menatapku dengan pandangan sinis.

Hatiku terasa aneh lagi. Rasa yang mirip dengan apa yang kurasakan di mimpi tadi. Saat itu juga, aku terngiang-ngiang ucapan seseorang yang asing itu dalam mimpiku.

‘Beri tahu mereka, kamu merasa nggak nyaman dan jadi kurang menghargai dirimu sendiri …’

“Aku udah coba yang terbaik, kok. Udah ada studi kasus dan risetnya juga. Jangan khawatir, coba percaya sedikit. Rasanya gak nyaman ditanya begitu terus dari dulu …” aku menunduk dan meremas ujung kemejaku, tanda sedikit takut dan tidak percaya diri.

“Aku mau coba kerjain sesuatu sesuai kemampuanku, lebih ngehargain usahaku sendiri. If I messed it up, aku juga mau coba selesaiin masalah itu sendiri.” Perlahan, aku berdiri dan meraih makalah itu. Kemudian, aku memakai tas dan meminum sisa teh yang ada di cangkir.

Ayah masih diam, untuk pertama kalinya, aku tak bisa memahami apa arti sorotan matanya padaku. “Aku berangkat, ya?” tanyaku. Tanpa menunggu jawaban, aku mendekati pintu dan melaluinya.

“Ya.”

Ayah menjawabku. Ia mengangguk. Tiba-tiba, aku merasa ingin menangis. Aku tidak tahu apa alasannya, rasanya lega sekaligus sakit sekali.

Sepertinya, inti rasa berat di hati ini memang berasal dari dia. Aku harus mengatakan apa yang aku rasakan padanya, baru aku bisa menjawab dan menyelesaikan masalah ini dengan benar.

Kadang, kamu mungkin tak berani mengatakan sesuatu pada seseorang. Pikirkanlah lagi, pilihlah kata-kata yang santun dan ungkapkan kegelisahanmu. Bisa saja, keluhan tulus yang halus itu  meregangkan sedikit tali yang mengikat perasaan berat di hatimu.


Kontributor: Vanilla

Penyunting: Azely Zahara

Sumber ilustrasi: Pinterest/imgur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *