Abah, Cendana, dan Aroma yang Menyeruak

0

Daun terakhir milik Abah telah gugur. Bersamaan dengan menyeruaknya aroma cendana yang bercampur tanah. Aku jadi ingat saat pertama kali jatuh cinta. Bukan pada seorang wanita, melainkan pada sebuah aroma.

“Bah, ini pohon apa?” tanyaku waktu itu. Aku masih kelas satu SMP dan Abah sedang bergairah sekali menanam pohon. Di halaman belakang rumah, berjejer bibit-bibit pohon dengan bentuk yang sama. Katanya, Abah dapat dari temannya yang tinggal di lain pulau.

“Pohon cendana. Ini masih bibit, nanti Abah ajak Arka lihat yang sudah besar.”

Aku diajaknya pergi ke lahan hutan milik Abah yang sengaja ditanami pohon cendana. Aroma harum menyegarkan langsung memanjakan indra penciumanku. Begitu memabukkan, benar-benar membuat hati merasa bahagia dan untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta.

Kini sudah hampir dua tahun aku tidak pulang ke kampung halaman. Bukan hilang rasa rindu, tapi ayah memutuskan untuk tidak mengunjungi rumah Abah lagi. Entah karena apa. Selama itu pula, aku tidak pernah bertemu aroma cendana.

***

“Kalian tahu ini pohon apa?” tanya Pak Supri, guru biologiku yang tengah menjelaskan bab akhir tentang keanekaragaman hayati. Tepat di depan kami, terpampang gambar sebuah pohon dari layar proyektor. Sepertinya … pohon itu tidak asing.

“Ini pohon cendana. Tanaman endemik Nusa Tenggara timur,” katanya. Ah, pantas saja. Itu pohonku!

“Pohon cendana tingginya bisa mencapai 20 meter. Daunnya berukuran kecil menyerupai bentuk pasak. Nah, yang paling Bapak suka adalah bunganya yang berbentuk seperti lonceng,” jelasnya. Ingatanku melayang pada Abah. Dia juga suka bunga pohon cendana. “Pohon ini merupakan tanaman primadona Indonesia. Selalu diincar dan dicari seluruh dunia. Ada yang tahu kenapa?”

Kami semua menggeleng. Pak Supri melanjutkan penjelasannya, “Cendana mampu mengeluarkan aroma harum. Itu karena cendana memiliki senyawa santalol yang terdapat pada akar dan batangnya. Kayu cendana sangat digemari oleh dunia karena aroma harumnya. Kalau dijual, kayu cendana bisa dihargai ratusan juta!”

Wah! Aku baru tahu fakta itu. Sungguh keputusan yang tepat Abah menanam pohon cendana. Jika dijual, Abah bisa jadi jutawan.

“Sayangnya, cendana hampir punah. Akibat eksploitasi kayu besar-besaran dan kebakaran hutan. Jika cendana punah, hilang sudah tanaman primadona Indonesia,” tutur Pak Supri.

Ah, sayang sekali jika suatu saat nanti cendana benar-benar punah. Tidak ada lagi pohon kesukaan Abah. Tidak ada lagi aroma harum cendana. Tidak ada lagi pembangkit kenangan tentang Abah.

***

Ada yang berbeda saat aku pulang dari sekolah. Ayah, ibu, Paman Agus, dan Bibi Inah sedang berkumpul di ruang tamu. Sepertinya membicarakan hal serius. Aku disuruh masuk kamar, ganti baju, dan makan. Tidak boleh bergabung dengan mereka.

Aku baru mau mengambil makanan di dapur hingga tidak sengaja mendapati ayah menelpon seseorang. Dugaanku itu Abah.

“Abah, tolong jangan begitu. Berikan saja tanah itu kepada mereka. Toh, Abah juga dapat uang pengganti.”

Tanah? Apa Abah mau menjual tanah?

“Baik. Hasta akan turuti permintaan Abah, asalkan mau menjual tanah itu.”

Telepon ditutup. Pembicaraan berakhir. Aku langsung kembali masuk kamar sebelum ayah memergokiku menguping. Meski begitu rasa penasaranku mencuat. Ada apa sebenarnya?

Tiba-tiba ayah mengetuk pintu kamar. Aku langsung mengambil buku, pura-pura membaca.

“Kamu sudah makan, Ka?” Aduh, apakah ayah tahu tadi aku menguping pembicaraannya di dapur. Gawat!

“E-eh, belum. Arka penasaran sama komik yang baru dibeli, jadi Arka—”

“Cepat makan. Sehabis makan, masukkan bajumu ke dalam koper. Segera bersiap, kita pergi ke rumah Abah,” perintahnya, kemudian menutup pintu. Rumah Abah? Itu berarti aku akan kembali bersua dengan aroma cendana. Aku sudah tidak sabar memberitahu Abah tentang apa yang dikatakan oleh Pak Supri di kelas.

Tunggu dulu, mengapa mendadak sekali? Aku semakin penasaran.

Malam harinya, kami sekeluarga langsung berangkat ke rumah Abah. Jaraknya tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh empat jam perjalanan naik mobil, itu pun kalau tidak macet. Sepanjang perjalanan, ayah dan ibu hanya diam. Maka aku pun ikut diam. Tidak berani bertanya, biar nanti aku tahu sendiri.

Akhirnya kami sampai di rumah Abah menjelang subuh. Rumahnya terletak di kaki gunung, jadi dekat sekali dengan hutan. Aku teringat pesan Abah waktu itu, “Alam adalah teman semua makhluk hidup. Jika kita menjaganya, maka dia akan menjaga kita.”

Indra penciumanku langsung mendeteksi aroma harum itu, yang memecahkan setiap jengkal rindu. Aroma cendana.

“Assalamualaikum, Bah. Abaaah! Ini Arka,” seruku seraya mengetuk pintu. Namun tidak ada jawaban. Aku menoleh pada ibu yang sedang membereskan koper dan ayah yang mengecek keadaan mobil. Raut wajah mereka menunjukkan rasa tidak senang kembali ke rumah Abah.

Sudah lama aku ingin tahu, apa yang terjadi pada hubungan antara ayah dan Abah. Semenjak ayah naik jabatan di perusahaannya, kami jadi jarang mengunjungi Abah. Setiap kali ku tanya, jawaban ayah selalu sama. Tidak punya waktu, sibuk. Begitu pun dengan ibu. Lama kelamaan aku malas bertanya lagi. Meski diam-diam aku rindu sekali pada Abah, juga aroma cendananya.

“Bu, kayaknya Abah nggak ada deh,” kataku. Ibu memeriksa lewat jendela. Lampunya hidup. Seharusnya Abah ada di rumah.

“Mungkin masih tidur. Ini nggak terkunci, ayo masuk.”

Baru satu langkah memasuki rumahnya, firasatku mengatakan kalau hari tidak berjalan sebagaimana mestinya.

***

“Dengan ini, saya meresmikan Hutan Pasir Ipis sebagai tempat pelestarian pohon cendana,” ucap laki-laki paruh baya yang padahal dulunya begitu membenci pohon cendana. Sekarang sepertinya dia sudah menerima dan berdamai dengan hatinya sendiri. Kami semua yang hadir bertepuk tangan. Laki-laki itu, adalah ayahku.

Abah telah berpulang sebulan yang lalu. Saat kami juga pulang untuk menemuinya. Dia terkena serangan jantung. Kami bahkan belum mengucapkan selamat tinggal pada Abah. Seharian aku menangisi kepergiannya. Ayah berusaha tegar, tapi aku tahu di lubuk hatinya ada kesedihan dan penyesalan mendalam.

Sebelum meninggal, Abah menuliskan surat wasiat untuk anak-anak dan cucunya. Terutama ayah. Abah memohon pada ayah untuk melindungi tanahnya. Tanah yang dijadikan lahan menanam pohon cendana. Ada perusahaan yang mengincar tanah itu untuk dirubah menjadi objek wisata. Perusahaan itu adalah tempat ayah bekerja. Ternyata hal tersebut yang menyebabkan renggangnya hubungan ayah dan Abah selama ini.

Ah ya, di surat itu Abah juga berpesan padaku. Pesan yang akan selalu kuingat sampai kapan pun.

Arka, rawat pohon cendana itu seperti kamu merawat dirimu sendiri. Cintailah dia seperti kamu mencintai keluarga dan negaramu. Tugas Abah mengungkapkan cinta telah selesai. Kamu bisa tanyakan sendiri pada pohon cendana yang menemani Abah.

Daun terakhir milik Abah telah gugur. Bersamaan dengan menyeruaknya aroma cendana bercampur tanah. Tanah yang menjadi tempat peristirahatan Abah.

Pohon cendana baru saja memberitahuku kalau Abah sangat mencintainya dan sedih sekali kehilangannya. Aku berusaha menguatkan.

“Sekarang Arka yang jaga cendana. Arka akan merawat cendana seperti Abah. Arka juga akan mencintai cendana, lebih dari Abah.”

Cendana kembali mengeluarkan aromanya. Kali ini sungguh berbeda. Ada Abah di setiap jengkal aromanya.


Kontributor: Faqihah Husnul Khatimah

Penyunting: Fairuz Z

Sumber ilustrasi: Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *