Spekulasi Perkembangan Petisi di Media Sosial
Hak Asasi Manusia (HAM) selalu dipegang teguh oleh bangsa dan negara. Sebagai pemegang tatanan demokrasi, masyarakat berada di posisi tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, petisi digunakan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang memiliki landasan hak dasar, hak fundamental, dan natural rights.
Istilah petisi berasal dari bahasa Yunani, yaitu petere, yang berarti meminta atau memohon. Secara umum, petisi adalah surat resmi permintaan atau permohonan kepada pemerintah. Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat menulis petisi kepada pemerintah dengan mengusungkan tuntutan hak-hak mereka terkait kebijakan pemerintah.
Kemerdekaan setiap warga negara untuk berpendapat di muka umum terbatas. Oleh karena itu, dibentuklah petisi sebagai ruang partisipasi yang mudah dan mampu memenuhi tuntutan. Seperti Inggris dan Estonia yang menjadi estafet berkembang petisi di dunia, perkembangan petisi di Indonesia juga mengundang beragam asumsi.
Berikut ini spekulasi masyarakat terhadap petisi, antara lain:
- Masyarakat merasa mudah untuk mengungkapkan gagasan, tuntutan, dan mendeklarasikan hak-hak mereka
- Masyarakat berspekulasi bahwa demonstrasi dilakukan untuk menunggangi kepentingan pribadi atau kelompok sehingga mereka banyak yang beralih ke petisi
- Payung hukum terhadap petisi sangat dibutuhkan sebagai landasan dasar norma dan wewenang masyarakat untuk mengungkapkan gagasan di ruang publik selain berdemonstrasi
- Mekanisme petisi harus segera ditetapkan sebagai sarana penyalur aspirasi masyarakat yang dapat ditindaklanjuti pemerintah
Spekulasi ini bermunculan ketika terjadi kasus hukum di Indonesia yang melibatkan Hisbun Payu, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, ditetapkan sebagai tersangka setelah menganggap kebijakan Presiden Jokowi yang mementingkan investasi daripada kepentingan rakyat. Dalam hal ini, petisi memerlukan landasan dasar hukum yang kuat sebagai implementasi mekanisne kinerja petisi terhadap beragam kritik dan saran yang dinilai responsif untuk pemerintahan.
Sebagai injeksi perkembangan media, petisi banyak digunakan sebagai sarana alternatif kritik dan saran terkemuka sehingga penyusunan undang-undang dijadikan revitalisasi prasarana awal dari kontrol penyebaran sistem petisi di media sosial. Tidak hanya dari pihak pemerintah yang mendapatkan petisi, tetapi kalangan public figure pun mulai diboikot oleh haters agar tidak muncul di media pertelevisian.
Sementara itu, diperlukan pihak yang mengelola petisi sebagai lembaga independen profesional yang memegang peran untuk mengeksekusi petisi sampai disalurkan ke pihak-pihak terkait. Kebijakan petisi juga ditengarai adanya intimidasi, sehingga siapapun yang mengemukakan pendapat dalam petisi dapat terlindungi dari tindakan pidana.
Peran Ombudsman ternyata memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan dan kebijakan publik. Sehingga, penguatan hukum yang berlaku untuk petisi dapat segera disempurnakan ke dalam tatanan kehidupan masyarakat demi terjaganya kemerdekaan berpendapat.
Penulis: Melan Eka Lisnawati
Penyunting: Farah Andini
Foto: Wikipedia