“Jangan pernah sebut nama ‘H-a-r-i-m-a-u’. Kau sebut saja Inyiak!” Dua hari yang lalu nenek berbisik dengan nada ketakutan.

“Bukankah itu namanya, Nek?” tanyaku penasaran sebab setahuku Inyiak adalah sebutan untuk orang yang sudah tua seperti kakekku, Nyiak Antan.

“Alaaah … pokoknya jangan, titik!” Lalu nenek bergegas ke ruang belakang, ke dapur mungkin.

Sejak saat itu, tak lagi kupanggil “Harimau”, aku lebih leluasa menyebut “Inyiak”. Ternyata, bukan hanya aku yang harus memanggil begitu. Semua orang kampung di sini punya pemikiran yang sama dengan nenek. Dan aku … ingin tahu asal usulnya.

*

Nyiak Antan, panggilanku kepada kakek, bukan karena kakekku harimau atau pawang harimau. Hal itu memang sejak dahulu kebiasaan dan adat di kampungku. Umur kakekku menurut beliau hampir 90 tahun. Namun, tidak tahu tepatnya berapa sebab kakek tidak punya akte lahir sepertiku. Menurut ibu, umur kakek diterka-terka saja supaya punya umur, biar sama denganku.

Kakekku pandai bercerita apalagi berbalas pantun. Tidak perlu berpikir pun beliau dapat membalas pantun yang ditujukan padanya. Padahal, kakekku itu tidak pernah sekolah apalagi mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi “Pantun”. Beliau begitu mudah merangkai kata. Apalagi tentang sejarah kampungku dan kampung sebelah. Pokoknya, kakekku itu OSERTA, Orang Serba Tahu.

Kemarin, aku menemui beliau yang sedang duduk memperbaiki jala. “Nyiak, kenapa orang kampung di sini sangat takut menyebut harimau? Apa dia bisa mengerti ucapan manusia?”

“Eh, kau rupanya Rahmi. Aku tidak mendengar orang mengucapkan salam dan mengetuk pintu.” Kakek menyindirku yang masuk rumah tanpa aba-aba.

“Maaf, Nyiak. Assalamualaikum ….” Dengan sedikit malu kuucapkan salam sebagaimana kebiasaan yang diajarkan kakek padaku.

“Waalaikumsalam, masuklah!” Kakek pura-pura main sandiwara, padahal aku sudah duduk di sampingnya.

“Yang tadi khilaf, Kek!” Aku merajuk karena diperlakukan layaknya anak TK.

“Yang khilaf yang harus diperbaiki, supaya tidak khilaf di masa datang … Mengenai pertanyaan kau tadi, dapat kujelaskan. Dengan syarat disimak baik-baik!” Kakek terus merajut jala ikan yang rusak. Sesekali kulihat beliau memperbaiki benang yang kusut.

“Dulu, waktu negara kita masih berperang melawan Belanda, para pejuang dari kampung kita bersembunyi dan bergerilya di hutan-hutan. Nah, pada suatu hari terdapat suatu kabar kalau ada seorang pejuang yang hilang. Tidak ada yang tahu, apakah pejuang yang hilang itu sudah mati atau ditangkap tentara Belanda. Padahal pejuang yang hilang itu adalah anak kandung dari pimpinan pejuang. Dikarenakan rasa kekeluargaan yang sangat tinggi, semua orang berusaha mencarinya. Tidak peduli siang, malam, hujan, atau panas.” Kakek begitu fasih mengingat kejadian itu. Sesekali dua kali kulihat beliau menyeruput teh manis yang ada di meja sebelah kanannya.

“Berselang satu minggu, pejuang yang hilang pulang ke kampung persembunyian. Semua menyambut suka cita. Ada yang mengucapkan kalimat syukur, ada yang memeluknya, dan ada pula yang menepuk-nepuk pundaknya dengan cukup kencang. Pokoknya semua meluapkan emosi mereka dengan cara masing-masing. Setelah si pejuang menceritakan kisahnya, semua yang mendengarkan merasa takjub dan haru. Satu hal yang mereka anggap mustahil, si pejuang diselamatkan oleh seekor harimau besar. Begitu.” Kakek menyelesaikan keterangannya dan beranjak untuk mengambil wuduk.

“Sejak saat itulah, orang kampung di sini dan sekitarnya menghormati ‘Inyiak Harimau’.” Kakek terus berjalan keluar dari kamar mandi menuju tempat sembahyangnya.

“Lalu, kenapa Nyiak leluasa menyebut ‘Harimau’? Apa tidak takut?” Kakek tersenyum ke arahku dan betul-betul siap untuk sembahyang.

Sejak saat itu, barulah aku tahu kenapa Inyiak sangat dihormati, boleh disebut namanya, dianggap bertuah, bisa menghilang dan muncul kapan dia suka. Apalagi kalau salah menyebut namanya, dia akan hadir entah dari mana datangnya.

Kemarin, para tetanggaku dihebohkan oleh kejadian yang membuat mereka panik. Inyiak mengamuk di ladang. Beberapa ternak dimangsa dan petani yang sedang bekerja dikejarnya. Suaranya membuat orang yang mendengarnya merasa takut. Seolah-olah akan diterkamnya saja. Tidak ada yang berani melawan. Mereka yakin, akan jadi sia-sia karena Inyiak punya ilmu yang sangat tangguh dibandingkan manusia.

Maka, sejak siang hingga malam suasana begitu sunyi dan mencekam. Tengah malam terdengar pula jerit tangis pilu beberapa perempuan. Anak laki-laki mereka diterkam Inyiak tepat di betis sebelah kanannya. Darah mencucur seperti keran yang terbuka mengeluarkan air. Mukanya jadi pucat, tubuhnya lemas, meringis-ringis menahan sakit, dan perih. Mantri kampung dijemput paksa untuk mengobati luka terkaman. Tidak ada yang tahu dengan pasti mengapa pilihan Inyiak tertuju pada Kutardi, pemuda 30-an tahun itu. Padahal Kutardi terkenal sangar melebihi harimau. Yang jelas, beberapa hari yang lalu Kutardi baru saja membeli motor baru hasil menjual kayu gelondongan yang ditebangnya beberapa minggu lalu bersama Ogan, Acin, dan Buyung.

Menjelang subuh, kampung kembali dihebohkan oleh Ogan dan Acin yang lari terbirit-birit dengan baju telah robek-robek. Dikarenakan digaham Inyiak, keduanya langsung pingsan sesampainya di rumah. Setelah siuman, Ogan menggigau meminta ampun kepada Inyiak.

Setelah Nyiak Antan menyimpulkan sesuatu. Tahulah aku sekarang kenapa Inyiak tidak lagi bersikap bersahabat karena sangat mungkin ada hubungannya dengan Kutardi, Ogan, Acin, dan Buyung.

“Dulu,” kata Nyiak Antan, “dua puluh tahun yang lalu pernah terjadi kejadian serupa. Inyiak keluar dari sarangnya setelah seorang warga kampung ketahuan mencuri karet yang telah disadap dari batangnya. Karet itu tidak sedikit, jumlahnya setara dengan harga satu motor matik 120 cc saat ini. Waktu itu tidak ada yang jadi korban. Inyiak hanya mengaum yang membuat bulu kuduk berdiri,”

“Satu lagi, Nyiak!” Nenek menimpali dan ikut bergabung.

“Waktu Si Tini melahirkan anak tanpa tahu siapa ayahnya, Inyiak mondar-mandir di depan rumah Si Tini. Saya ingat sekali, Si Tini menangis ketakutan.”

Begitulah tuah Inyiak, menjaga kampung dari hal-hal yang merusak. Mengingatkan orang-orang di kampungku agar jangan melanggar aturan-aturan yang telah disepakati. Kejadian yang menimpa Kutardi mengingatkanku pada hutan yang harus dijaga dengan baik. Seperti yang sering kulihat di televisi. Banjir yang diakibatkan oleh hutan gundul yang tak ditanami.

Begitu pula hal yang menimpa Ni Tini, tetap menjaga diri agar tak terjerumus ke jurang dalam yang mengakibatkan penyesalan. Meskipun saat ini mudah terpengaruh hal-hal negatif, jika benteng dalam diri kuat dan kokoh, maka apa pun godaan tidak akan tergoyahkan.

Mengenai Ogan dan Acin tak perlu ikut-ikutan, jadi diri sendiri lebih baik dan menyenangkan.

Ah… kampungku yang damai, betapa manusia dan alam hidup berdampingan dan saling menjaga. Kenapa harus dirusak oleh ego yang tak terjaga. Betapa aku ingin berterima kasih pada damai yang diciptakan hati yang putih bersih, seperti saat Nyiak Antan mengingatkanku pada kebaikan-kebaikan. Seperti Inyiak mengingatkan Kutardi, Ogan, Acin dan Ni Tini.

Pagi ini masih sepi dan mencekam. Tidak ada aktivitas di luar rumah yang dilakukan warga. Hanya satu dua orang terlihat gegas berjalan. Tiba-tiba motor meleset memecah sunyi dan berhenti di depan rumahku. Pak Hasim mengabarkan pada ayahku bahwa Buyung, tetangganya sudah hampir sejam dikepung Inyiak dari dalam rumah. Buyung tadi meneleponnya.

Syukurlah, Da Buyung juga diingatkan oleh Inyiak akan perbuatannya yang bukan hanya sekali dua kali melawan bertruk-truk kayu dari bukit batas kampung. Sampai akhirnya bukit itu tak bisa lagi dilewati karena longsor dan belum pernah sekalipun diperbaiki. Orang kampung yang punya ladang di sana harus berjalan lebih jauh karena ketika musim hujan begini jalannya menjadi sangat licin.

“Kau berharap si Buyung digigit Inyiak, kan?” Nyiak Antan rupanya telah berdiri di belakangku dan terlihat senyum-senyum sendiri.

“Ah … tidak Nyiak, bagaimanapun diakan masih saudara saya. Paling tidak, Da Buyung menyesali perbuatannya saja.”

“Baguslah … berarti kau sudah paham makna kejadian yang kau saksikan dan yang kuceritakan. Mudah-mudahan Inyiak sudah pergi dan tidak ada lagi yang mengganggu pikirannya.” Nyiak Antan menatap jauh ke atas bukit batas kampung lewat jendela kayu bersibah dua itu.

Sementara itu, dari kejauhan seorang ibu-ibu berlari tergopoh. “Si Buyung selamat, dia selamat, dan anak saya selamat,”

Mendengar itu, Nyiak Antan turun ke halaman dan berjalan menuju ke rumah Buyung. Kau ikuti saja dari belakang dan kau takkan diganggu oleh Inyiak, itu saran prediksi dari Nyiak Antan yang tak pernah meleset.

Benar saja, Da Buyung selamat. Tak ada lagi suara Inyiak yang mencekam –dan kadang kala membuat iba hati yang mendengarkannya– karena Inyiak telah pergi selamanya. Kepalanya tertembus peluru yang dimuntahkan dari senapan milik Kutardi.


Kontributor: Mitha Harianti

Penyunting: Rifqa Nisyardhana

Foto: Pexels

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *