Stoic: Pedoman Gen Z Bersikap Bijak dalam Mengelola Emosi

Foto: Unsplash.com

 

Gemagazine – Pemikiran atau pandangan dari filsafat stoic yang kini sedang tren di kalangan Gen Z, mulai beredar dari buku yang berjudul Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Hal ini bisa terjadi karena sangat penting bagi Gen Z untuk pandai mengelola emosi mereka.

Stoic mengajarkan kebijaksanaan universal yang memiliki sifat kompatibel, komplementer, tidak dogmatis, dan mudah diadaptasi sesuai kebutuhan Gen Z.

Stoic atau stoisisme yang diambil dari kata stoa dalam bahasa Yunani yang artinya teras berpilar. Stoic pertama kali dicetuskan oleh filsuf Zeno. Zeno mengajar filosofinya sendiri ke orang-orang sekitar di sebuah alun-alun teras berpilar (stoa) di Athena, Yunani. Seiring berjalannya waktu, munculah filsuf lain yang memiliki pemikiran layaknya Zeno ini. 

Pernahkah kamu mendengar dikotomi kendali? 

Dikotomi kendali pertama kali dicetuskan oleh Epictetus,

“Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita.” 

Maksud dari Epictetus adalah bagaimana kita menyikapi hal-hal yang menimpa diri dan bagaimana caranya untuk berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Sebagai contoh, tindakan dan opini orang lain merupakan hal yang tidak dapat kita kendalikan. Opini, persepsi, tujuan, dan tindakan kita merupakan hal yang bisa dikendalikan secara pribadi. 

Filosofi ini apabila dijabarkan memiliki banyak ranah dalam pengendalian diri terhadap emosi negatif yang menjauhkan kita dari kebahagiaan atau ketenangan batin, yaitu: iri hati, rasa takut, rasa sesal, bahkan kesenangan atau kenikmatan.

Emosi negatif bukanlah sebuah perasaan liar atau pikiran irasional sebab segala sesuatu yang terjadi juga memiliki alasan. Namun, emosi negatif merupakan aktivitas rasio dalam kaitan aktivitas rasional, meskipun cenderung melenceng. Rasio dalam emosi negatif di sini merupakan tindak rasio berupa hasrat, kehendak, keinginan, nafsu, dan cara berpikir yang bersifat melenceng.

Memiliki pandangan bahwa kebahagiaan, kedamaian, dan rasa tenteram berakar dari diri sendiri dan tidak bergantung selain yang datang dari dalam diri, pula tidak bergantung pada hal-hal eksternal yang cenderung akan hancur atau bahkan direnggut dari kita. Kebahagiaan merupakan bentuk yang dapat diwujudkan dari diri sendiri, hal ini wajib kita ketahui di tengah kehidupan masa kini dengan penuh ketidakpastian. (LHS/GIM)