Pelestarian Ondel-Ondel di Ibu Kota

Foto: Channelnewsasia.com

Di tengah hiruk pikuk ibu kota, terdapat perkampungan sempit di kawasan Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat, yang masih melestarikan kesenian budaya ondel-ondel. Perkampungan ini juga menjadi sentra pembuatan ondel-ondel.

Ondel-ondel adalah budaya yang tak terpisahkan dari adat Betawi, sekaligus menjadi ikon Kota Jakarta. Boneka raksasa ini semakin dikenal masyarakat luas saat almarhum Benyamin Sueb membuat lagu berjudul “Ondel-ondel”.

Warga Jakarta biasanya sudah tidak asing dengan ondel-ondel sebagai kesenian khas daerah. Ondel-ondel akan banyak ditemukan di jalan-jalan, gedung, hotel, tempat makan, ataupun tempat pertunjukan, terutama di hari perayaan tertentu.

Asal Usul Ondel-Ondel

Menurut cerita turun-temurun sesepuh dari suku Betawi, ondel-ondel sudah ada sejak zaman nenek moyang. Dahulu, ondel-ondel dibuat untuk upacara tolak bala. Upacara tolak bala diadakan untuk mengusir wabah penyakit yang menyerang perkampungan atau gangguan roh halus yang gentayangan.

Saat ini, ondel-ondel masih sering digunakan untuk meramaikan pesta rakyat, pernikahan, atau penyambutan tamu terhormat, misalnya saat peresmian gedung yang baru selesai dibangun.

Ondel-ondel berbentuk boneka raksasa yang terbuat dari anyaman bambu dan dihiasi pakaian, serta beraksi menyerupai manusia. Dalam pertunjukkan, boneka ini digerakkan dari dalam oleh manusia, biasanya laki-laki karena beban dari boneka tersebut cukup berat.

Umumnya, boneka ondel-ondel dibuat berpasangan, layaknya pengantin laki-laki dan perempuan dengan pakaian yang indah. Ondel-ondel lelaki dibuat berwarna merah yang melambangkan semangat dan keberanian, sedangkan ondel-ondel perempuan berwarna putih yang menandakan kesucian dan kebaikan.

Ukuran ondel-ondel bervariasi, mulai dari ukuran 1 meter hingga yang tertinggi 2,5 meter, dengan berat berkisar antara 10 hingga 15 kilogram.

Selain untuk melestarikan kebudayaan, ondel-ondel juga digunakan sebagai mata pencaharian warga. Kerap kali ondel-ondel digunakan sebagai alat untuk mengamen. Keadaan ini dianggap dapat menurunkan nilai seni dan estetika dari ondel-ondel.

Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah dan instansi terkait. Memperkenalkan budaya adalah hal yang sangat patut dihargai, tetapi tidak untuk dijadikan alat “mengasihani” diri sehingga menurunkan nilai tradisi itu sendiri. (AAJ/FT)