Mengenal Politik Identitas dan Dampaknya

Foto: dailymail.co.uk

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kian mendekat. Ruang-ruang digital di zaman sekarang berpotensi menjadi wadah kampanye untuk mendukung para figur yang akan berlaga di hajatan demokrasi nanti.

Namun, ada hal penting yang harus diantisipasi di tengah antusias publik dalam menyambut pemilu 2024, yakni adanya “politik identitas”.

Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras serta antargolongan (SARA). Dengan penduduk yang begitu banyak dan latar belakang yang berbeda-beda tentu membuat bangsa ini sangat rawan terhadap adanya gesekan horizontal yang terjadi.

Lantas, Apa itu Politik Identitas?

Politik Identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa “sama”, baik secara ras, etnis, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa penggunaan politik identitas dalam pemilu merupakan salah satu pemicu terjadinya pembelahan atau polarisasi masyarakat.

Dampak Politik Identitas

Menurut kajian Supratikno (2022), politik identitas yang tidak terkendali dapat mengakibatkan konflik SARA, fundamentalisme dan radikalisme agama, serta manuver politik yang penuh propaganda kebencian terhadap pihak lain. Hal senada juga diingatkan oleh Akbar Faisal (2022) yang mengatakan bahwa jika politik identitas tidak dikelola dengan baik, akan menyebabkan terpecahnya masyarakat, pengkotakan kepentingan, diskriminasi, dan manipulasi politik. Isu politik identitas menjadi perbualan dan perdebatan hangat dalam dunia modern, terutamanya semenjak Huntington menulis buku “The Clash of Civilizations?” pada tahun 1993.

Penggunaan identitas dalam politik memang tidak sepenuhnya negatif asalkan mengedepankan moralitas politik. Jika hal ini saja hilang, maka yang terjadi selanjutnya adalah sebuah permasalahan seperti hadirnya antagonisme sosial akibat dari permainan identitas untuk kepentingan elektoral semata. Laclau dan Mouffe mengistilahkannya sebagai political frontiers atau ambang batas hegemoni politik, di mana setiap aktor politik memahami dan menggunakan identitas mereka melalui relasi yang antagonistik (De Toffoli, 2022; Kazharski, 2019).

Di tengah kehidupan berbangsa yang masih bergelut pada berbagai isu seperti kesejahteraan, hak asasi manusia, keagamaan, hukum, dan lain sebagainya, akan membuat perihal politik identitas menjadi bola liar. Meskipun tidak selalu negatif, tetapi akan bergantung pada aktor politik yang bermain dan para pemilih yang dimainkan. Apa lagi di era digital dengan berbagai permasalahannya. (AAJ/AYY)