Asih Widodo: 25 Tahun Mencari Keadilan, Tak Digubris Negara

0
Foto: Argya D. Maheswara

Di rumah kecil yang terletak di belakang Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, terdapat kekecewaan yang tertuang dalam dinding rumah dengan kalimat bertuliskan ‘Di Mata Allah Anakku Berharga, Di Indonesia Dianggap Musuh, Dibunuh TNI’ tinggal seorang sosok pria paruh baya dengan selimut perasaan sangat kecewa terhadap negara yang tidak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di negeri ini.

Selama 25 tahun terus mencari keadilan untuk anak semata wayang tercinta. Asih Widodo merupakan sosok ayah yang tidak pernah mengenal akan kata letih demi mencari keadilan untuk anak tercintanya, yaitu Sigit Prasetyo, mahasiswa semester dua yang turut menjadi korban atas Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.

Mahasiswa Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) Salemba itu awalnya pulang ke rumahnya, setelah tiga hari mengikuti aksi protes terhadap Sidang Istimewa MPR di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Sebelum tragedi tersebut menimpa Sigit, pada saat dia hendak berpamitan untuk turun mengikuti aksi tersebut, sang Ayah berpesan, 

“Hari ini kamu jangan demo, kamu lahir hari ini, hari ini apesnya, nanti takut ada apa-apa,” ujar Asih Widodo kala itu.

Pada pukul enam sore, Asih ditelpon oleh pihak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang berada di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. 

“Tolong anak Bapak jemput,” ucap pihak rumah sakit kala itu. 

Dia langsung menuju rumah sakit tersebut dengan perasaan yang sangat hancur, apalagi mengingat bahwa Sigit adalah anak semata wayang harapan keluarga, impian anaknya menjadi insinyur dan melanjutkan studi ke Australia kini pupus.

“Anak saya dibunuh, saya kecewa banget dengan negara, dengan cara matinya, kalo mati kita tinggal nunggu ajal ngantri aja, tapi kita dipaksa mati,” ucap Asih Widodo pada saat ditemui di kediamannya, Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Asih Widodo mengenang Sigit sebagai pribadi yang pintar dan memiliki tata krama yang bagus. Sigit selalu mendengarkan dan menuruti perkataan sang orang tua, ketika duduk pun tidak pernah berhadapan ataupun sejajar dengan orang tua, melainkan duduk dilantai, apalagi keturunan darah biru masih mengalir di darah keluarganya.

Saat mencari keadilan untuk anaknya pada 26 Desember 1998 ke Departemen Pertahanan di samping Sarinah, dia diadang oleh Brimob, kepalanya menjadi sasaran empuk gagang senapan oleh pasukan brimob tersebut, dia pun dibawa ke rumah sakit. Asih tahu siapa dalang dibalik pembunuhan anaknya tersebut.

“Sakit hati banget saya, 25 tahun saya menderita, saya berharap Wiranto sebelum mati harus dipenjara, cape mencari keadilan, 25 tahun gak nemu,” keluh Asih Widodo.

Di dinding rumahnya pun terdapat foto-foto dan tulisan bentuk protes kepada negara, foto almarhum ibunda Sigit yang meninggal tiga tahun lalu, dan beberapa gambar karangan bunga dari berbagai pihak yang turut mengucapkan belasungkawa pada saat meninggalnya Martini ( ibunda Sigit Prasetyo). Namun, hanya karangan bunganya saja yang sampai ke rumahnya, sosok ataupun perwakilan dari pengirim tidak datang ke rumahnya langsung. 

Sebelum meninggal Martini berpesan kepada Asih, 

“Yah, tolong janji sama Ibu, tolong muter pulau Jawa cari keadilan,” ucap Martini.

Bahkan sebelum meninggal, Martini memesan batu nisan yang bertuliskan nama dirinya dan nama anaknya, Martini ingin kuburannya dengan Sigit ditumpuk jadi satu.

Asih berniat ketika dirinya sudah sembuh seusai operasi katarak, dia akan melanjutkan mencari keadilan untuk sang anak dengan mengendarai motor mengelilingi pulau Jawa yang akan dilaksanakan ke Surabaya. (AAJ/FT)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *