Mengenal Istilah Toxic Positivity di Kalangan Anak Muda
Foto: Freepik.com
GEMAGAZINE – Apa kalian pernah mendengar kata positive vibes only? Kalimat yang cukup sering dilontarkan oleh setiap orang. Namun, pada kenyataanya ada sebagian orang yang tidak percaya dengan kata tersebut karena faktanya hal-hal positif pun ada tidak baiknya, yakni toxic positivity. Toxic positivity dapat terjadi pada lingkungan terdekat kita sekalipun, seperti teman, sahabat, dan keluarga.
Menurut Dr. Jaime Zuckerman—seorang psikolog klinis dan ahli terapi perilaku kognitif—menggambarkannya sebagai asumsi baik oleh diri sendiri maupun orang lain bahwa meskipun seseorang mengalami penderitaan emosional atau situasi sulit, mereka seharusnya hanya memiliki pikiran positif. Menurut Dr. Zuckerman, masalah yang melekat dengan konsep ini adalah kita berasumsi bahwa jika seseorang tidak berada dalam suasana hati yang positif, maka mereka salah. Masalahnya, ketika seseorang meremehkan keadaan emosi orang lain atau memberi tau seseorang bahwa perasaan sedih, marah, atau emosi apa pun yang dianggap ‘negatif’ itu buruk, akhirnya menimbulkan emosi sekunder di dalam diri, seperti rasa malu dan bersalah. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Toxic Positivity and Mental Health – It is ok to not be ok.
Fenomena toxic positivity sudah menjadi hal yang lumrah di era sekarang. Dari banyaknya tuntutan yang ada, kita masih saja diharuskan untuk berpikir positif. Pemikiran positif tersebut terjadi karena penekanan emosi negatif baik dari orang lain maupun diri sendiri. Penekanan tersebut juga bisa didapat dari berbagai masalah ataupun motivasi yang diberikan orang lain sehingga membuat kita merasa bahwa berpikir positif adalah pilihan yang tepat. Tidak sedikit juga orang yang membandingkan masalah seseorang dengan masalah orang lain, lalu memintanya untuk tetap bersyukur karena masalahnya tidak lebih buruk dari orang lain. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Proceeding Conferece on Psychology and Behavioral Sciences: Toxic Positivity Pada Generasi Z.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Toxic Positivity
Berikut faktor-faktor yang menyebabkan toxic positivity terjadi. Pertama, toxic positivity dapat terjadi karena tidak sesuainya motivasi yang diberikan oleh seseorang yang awalnya ingin memberikan dukungan, tetapi berakhir tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kedua, respons yang menganggap reaksi atau kondisi kita berlebihan sehingga kekecewaan dan kemarahan kita meluap. Ketiga, perasaan tidak dipahami karena masalah atau kondisi yang dihadapi dianggap remeh oleh pendengar. Terakhir, mendapatkan kekerasan verbal yang dilakukan oleh keluarga atau teman terdekat, misalnya meminta kita untuk selalu bersyukur apa pun keadaannya dan membandingkan kondisi orang lain yang tidak berkaitan dengan kondisi yang dialami sekarang. Perasaan menyangkal emosi negatif yang ada dalam diri membuat seseorang berpikir untuk tidak memperhatikan emosi negatif tersebut sehingga tubuh dan pikiran diprogram hanya untuk merasa bahagia, bukan kecewa.
Respons yang Terdapat Unsur Toxic Positivity
Toxic positivity juga terjadi terhadap respons seseorang dalam menanggapi suatu hal. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang menanggapi sesuatu dengan niat ingin meredam kecemasan. Ada banyak cara untuk bisa meredam rasa cemas karena masalah, tetapi bukan dengan kalimat yang membawa seseorang untuk melupakan masalahnya. Contohnya, “coba, deh, lebih bersyukur”, “gapapa, kok, kamu udah hebat”, dan “coba perkuat lagi iman kamu”. Kata-kata seperti itu bisa saja menambah kecemasan orang lain karena secara tidak langsung bisa membuat seseorang lupa akan masalahnya dan berujung melupakan masalahnya. Kata-kata tersebut juga tidak akan menyelesaikan masalah.
Toxic positivity dapat terjadi karena pemikiran positif yang berlebihan dalam memberikan respons dengan niat ingin memotivasi. Namun, nyatanya membawa dampak negatif bagi yang menerimanya karena respons yang diharapkan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Toxic positivity juga dapat terjadi karena adanya penekanan emosi negatif saat seseorang menghadapi suatu masalah. Perilaku ini berbahaya bagi kesehatan mental dan dapat menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan.
(daz/az)