Urban Farming: Solusi bagi Lahan yang Dikriminalisasi

0

Foto: Siti Sayidah

GEMAGAZINE – Perbincangan mengenai permasalahan kota tak akan ada habisnya, termasuk bagi Jakarta. Menjadi kota terpadat di Indonesia, Jakarta terjerat oleh problematika yang seakan tak berkesudahan. Kemiskinan dan kelaparan hingga lahan yang terus terhimpit membuat masyarakat semakin menjerit. 

Populasi penduduk yang selalu melonjak dari tahun ke tahun memaksa kebijakan penggunaan lahan dan tata kota harus diakali seefektif mungkin. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, idealnya setiap kota harus memiliki minimal 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Kebijakan ini juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/2005 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH, setiap kota wajib memiliki RTH sejumlah 30% dari luas lahan dengan RTH publik seluas 20% dan RTH privat seluas 10%. Namun, tidak semua kota mampu memaksimalkan lahan yang ada untuk kepentingan publik. Terlebih pada praktik di lapangan, parameter ini sering terabaikan.

Seperti halnya pengadaan RTH di wilayah Jakarta, hanya ada 33,34 juta m2 atau sekitar 5,2% dari luas total lahan. Angka ini tentu masih sangat jauh dari kriteria minimum sehingga melahirkan persoalan baru.

Tergerusnya Lahan Ibu Kota Penyebab Derita

Dewasa kini, eksploitasi lahan sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Mengesampingkan dampak yang akan ditimbulkan, lahan kota semakin tergerus oleh pemukiman. Masyarakat seakan enggan peduli terhadap masalah yang akan dihadapi, yang penting rumah dan tempat berteduh sudah didapatkan.

Dilansir Gemagazine dari Jurnal Perkotaan dalam Perspektif Kemiskinan, Pemukiman Kumuh, dan Urban Heat Island (sebuah literatur) oleh Mohammad Amin Lasaiba, menyebutkan bahwa “Pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia di kota-kota besar menimbulkan masalah lingkungan seperti polusi udara, bahkan perubahan iklim dan regional.”

Alih fungsi lahan tentu berbahaya jika dilakukan tanpa regulasi yang tepat. Banjir dan polusi udara menjadi masalah langganan yang terus menghantui ibu kota. “Pemanfaatan lahan yang akhirnya tidak melihat tata air itu, kemudian menambah dan menyebabkan banjir,” jelas Edy Nugroho, Direktur Pengendalian Kerusakan Lahan KLHK RI, dilansir Gemagazine dari Official NET News.

Hutan beton yang terus dilestarikan di wilayah Jakarta berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup. Jakarta yang seakan dipayungi gedung pencakar langit menyerap dan membuat hawa panas terperangkap. Fenomena penutupan lahan alami ini mendorong terjadinya urban heat island yang berujung pada polusi udara, peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat resapan air, penurunan kelembaban udara, dan permasalahan lain.

Persoalan ini tentu harus segara dirundingkan. Pemerintah perlu mengambil tindakan serta mencari jalan keluarnya. Semua pihak harus dilibatkan dalam menangani masalah yang ditimbulkan akibat alih fungsi dan penyempitan lahan.

Penanganan urban heat island yang dapat dikerjakan oleh semua pihak dapat dilakukan dengan penanaman pohon. Namun sayang, keterbatasan lahan lagi-lagi menjadi penghambat untuk menggaungkan perubahan. Terlebih, pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan lahan sempit masih sangat terbatas. 

Untuk itu, kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam persoalan ini. Pemerintah perlu memberikan edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat agar bisa memanfaatkan keterbatasan dengan bijak. Selain itu, peran dan fungsi pemerintah juga diperlukan dalam menyediakan RTH sebagai solusi alternatif.

Akan tetapi, pada kenyataannya, ruang publik kerap kali dikriminalisasi sebagai representasi dari rumitnya tata kota. Konversi lahan yang diakibatkan oleh lonjakan jumlah penduduk memaksa pemerintah kota putar otak untuk siasati minimnya ruang publik dan ruang terbuka hijau.

Urgensi Ruang Terbuka Hijau di Jakarta

Keberadaan RTH menjadi penting dalam suatu kawasan, baik perkotaan maupun pedesaan. Dengan RTH yang ideal, banyak persoalan dapat terselesaikan, meski tentu harus melalui kombinasi kebijakan daerah yang optimal.

RTH sendiri terdiri atas dua jenis, yakni publik dan privat. RTH publik ialah jenis ruang terbuka yang memberikan akses kepada publik dan menjadi aset kota, biasanya berupa taman, hutan kota, dan lain sebagainya. Sementara itu, RTH privat ialah ruang terbuka yang dimiliki oleh pribadi atau perseorangan, seperti halaman dan pekarangan rumah.

Meski status kepemilikan RTH berbeda, ruang terbuka perlu dilestarikan sebab itu kebutuhan publik. “Ruang Terbuka Hijau merupakan kebutuhan pokok penduduk kota,” jelas Mujahidin Agus dalam video yang bertajuk Geografi – Tata Ruang Kota dan Alih Fungsi Lahan. 

Kurangnya proporsi RTH tercipta atas dasar pembangunan yang tidak merata. RTH dipandang mempunyai nilai ekonomi yang rendah sehingga dimarjinalkan. Padahal RTH dapat menekan efek negatif akibat bagunan megah nan mewah perkotaan, seperti kelembaban udara dan polusi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mengampanyekan urban farming pada Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sesuai dengan yang tertuang dalam Instruksi Gubernur Prov. DKI Jakarta No.14 Tahun 2018. Salah satu ikhtiarnya adalah dengan menggalakkan kolaborasi RPTRA dan urban farming sebagai langkah konkret mengatasi permasalahan lingkungan hidup. 

Kolaborasi RPTRA dalam Mewujudkan Urban Farming 

Hal ini juga turut dilakukan oleh Feby (31), salah seorang pengurus RPTRA Teratai, Tebet Timur, yang bertugas menjaga dan merawat hidroponik. Tanaman yang dirawatnya memang hanya sebagian kecil, tetapi usaha dan kegigihannya patut diapresiasi. Feby bercerita bahwa dirinya telah menjaga dan merawat tanaman hidroponik selama tujuh tahun. “Sudah sejak 2018 sampai sekarang,” tutur Feby.

Ia juga mengaku bahwa hasil panen yang ia dan tim rawat akan dijual ke warga sekitar dan ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat. Selain itu, dengan digalakkannya program hidroponik dapat menjadi bahan pembelajaran untuk masyarakat sebagai alternatif menanam sayuran. Dengan begitu, diharapkan peningkatan pendapatan keluarga dapat tercapai dengan cara menjual sayur hasil panen.

“Ya, manfaatnya bisa jadi pembelajaran buat masyarakat sekitar sebagai alternatif menanam sayuran dan meningkatkan pendapatan keluarga kalau hasil panennya terjual,” ujarnya. 

Pada mulanya benih tanaman diberikan oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta dan Kelurahan Tebet Timur. Saat ini sudah ada tiga jenis sayuran yang ditanam pada media hidroponik, yaitu sawi putih, pokcoy, dan kangkung. 

Namun, penggunaan media tanam hidroponik belum dapat dijalani sepenuhnya oleh semua kalangan karena modal investasi awal yang tergolong cukup mahal. Permasalahan biaya menjadi salah satu kendala yang kerap kali dihadapi oleh Feby.

Selain pada kendala biaya, Feby juga memberikan keterangan bahwa kualitas air dan cuaca sering kali membuatnya pening lantaran sangat memengaruhi kesuburan tanaman. “Kendalanya itu, ada di air dan cuaca, ya. Kalo lagi bagus, ya, hasil panennya juga pasti bagus dan banyak. Biasanya kalau lagi jelek, kualitas panennya pasti menurun,” jelasnya.

Meski belum begitu familier di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat menengah, hidroponik tetap menjadi program urban farming unggulan. Namun, penanaman dengan media pot konvensional juga masih tetap dianjurkan.

Peran Masyarakat terhadap Kelestarian Lingkungan

Menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, apalagi perseorangan. Melainkan kewajiban setiap warganegara. Meski pemerintah telah mengakali persoalan ini, tetapi banyak masyarakat yang ingin terjun langsung dalam menangani problematika lingkungan yang kian memprihatinkan. Seperti Adellya (19), yang tak ingin tinggal diam. Dirinya mengaku ingin turut melestarikan lingkungan sembari menjalankan hobinya mengurus tanaman. 

“Jalanan di tempat tinggal aku sudah diaspal, tapi sedikit orang yang menanam tanaman sehingga terkesan gersang. Makanya, aku ingin melestarikan lingkungan dan menanam pohon agar mendapatkan udara segar ketika membuka pintu rumah,” ucap Adellya.

Dirinya menjelaskan bahwa hobinya mengurus tanaman berawal hanya karena  fomo. Meski begitu, ia tetap menjaga konsistensinya dalam merawat tanaman selama tiga tahun. Telah mencoba berbagai jenis tanaman, tetapi hatinya terlanjur jatuh pada jenis tanaman hias lantaran perawatannya yang mudah dan tak perlu repot.

 “Sebelumnya, aku pernah nanam cabai karena dikasih bibitnya yang sudah berbuah, tapi gak tau kenapa pas dipindahin ke pot, lingkungan rumahku malah gak bisa beradaptasi. Kayaknya karena rumahku terlalu gersang, jadi pohonnya nggak bisa tumbuh,” imbuhnya.

Dengan bermodal menonton Youtube, Adellya belajar bercocok tanam di rumah secara otodidak. Lewat video tutorial, ia meramu racikan pupuknya sendiri. Selain karena lebih hemat, menggunakan pupuk racikan juga menjadi ajang pembelajaran bagi Adellya.

Sebab kepeduliannya terhadap lingkungan, Adellya rela meluangkan waktu untuk mengurus dan merawat tanamanan disela-sela kesibukannya. Setiap Minggu pagi, ia memupuk tanaman. Walaupun hari libur, geloranya tak pernah luntur.

Sebenernya capek banget, tapi setelah dilakukan, tanamannya jadi subur dan daunnya jadi banyak. Terus, karena yang aku tanam ini tanaman hias, jadinya warna daunnya gak langsung bagus dan butuh waktu untuk mendapatkan hasil maksimal. Makanya, ada kepuasan sendiri ketika ngeliat daunnya bagus dan tanamannya subur,” pungkasnya.

 

(nns/vmg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *