Peran Praktik Mindfulness di Tengah Maraknya Fenomena Idolizing
GEMAGAZINE – Rasa haus sebagai anak muda dalam mengidolakan dan mencerminkan sosok tertentu merupakan fenomena yang marak di era digital. Dalam pencarian jati diri dan identitas, kita sering terpikat oleh figur-figur yang dianggap menginspirasi atau mewakili sesuatu dalam diri kita. Selebriti, tokoh publik, atau bahkan karakter fiktif dengan mudahnya menjadi cermin harapan, mimpi, atau sekadar sumber pelarian dari kenyataan yang sedang kita hadapi.
Seiring dengan membuncahnya fenomena ini, tantangan dalam pengelolaan emosi dan ekspektasi kita sebagai manusia juga semakin melonjak. Ketidakmampuan kita untuk mengelola rasa kagum yang kita miliki terhadap hal-hal tersebut, mendorong kita untuk membenarkan hal buruk yang mungkin saja terjadi di masa depan.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk perlahan mempelajari bagaimana membawa rasa kagum tersebut menjadi wadah hal baik dan positif di hidup kita. Salah satunya dengan menerapkan praktik mindfulness yang memungkinkan kita untuk tetap sadar dan rasional. Kita perlu menjaga keseimbangan antara kekaguman dan kenyataan, serta mengidolakan sesuatu dengan cara yang sehat dan membangun.
Fenomena Idolizing dan Faktor Pembentuknya
Fenomena idolizing merupakan proses di mana seseorang mengembangkan kekaguman yang mendalam terhadap individu tertentu. Proses ini melibatkan pemujaan yang sering kali melebihi apresiasi biasa dan dapat mencakup perilaku sangat loyal dan penuh antusiasme.
Fenomena ini sering kali dipicu oleh media, yang menampilkan mereka dalam cahaya “menyilaukan” hingga sulit mencerminkan kenyataan secara keseluruhan. Dengan adanya akses mudah terhadap informasi, proses ini menjadi lebih cepat dan lebih intens. Kemudian akhirnya mempengaruhi cara kita melihat figur-figur yang kita kagumi tersebut.
Bagi kita anak muda, fenomena ini dapat dengan mudah terbentuk karena salah satu faktor signifikan yaitu pembentukan identitas diri. Usia muda merupakan usia di mana kita masih rentan meraba jati diri dan berada dalam masyarakat.
Mengidolakan seseorang memungkinkan kita untuk mengadopsi pandangan hingga gaya hidup orang tersebut untuk membentuk identitas diri. Proses ini sering kali disertai dengan ikatan emosional yang kuat terhadap idola. Di mana pencapaian idola dianggap sebagai cerminan dan perwujudan dari harapan serta keinginan pribadi.
Mengenal Mindfulness dan Kaitannya dengan Fenomena Idolizing
Mindfulness—bagaimana kita memiliki kesadaran penuh akan sesuatu—merupakan praktik di mana seseorang secara aktif memusatkan perhatian pada saat ini dengan cara yang tidak menghakimi. Dilansir Gemagazine melalui ujaran Thich Nhat Hanh dalam bukunya yang berjudul The Miracle of Mindfulness, mindfulness digambarkan sebagai kemampuan manusia untuk sadar terhadap apa yang terjadi pada diri sendiri dan sekitar. Praktik ini secara khusus dapat mengurangi stres, kecemasan, depresi, dan meningkatkan kesejahteraan manusia secara keseluruhan.
Fenomena idolizing, terutama di kalangan generasi muda, sering kali menimbulkan jebakan akan ekspektasi yang tidak realistis dan wadah kekecewaan baru bagi diri kita. Terutama ketika sang idola tidak dapat memenuhi harapan kita. Dalam hal ini, mindfulness dapat membantu kita secara tidak langsung untuk tetap sadar akan pikiran dan perasaan kita. Mindfulness membantu kita menghindari keterikatan emosional yang berlebihan dan menjaga keseimbangan antara kekaguman dan realitas.
Mengelola Ekspektasi dan Emosi Saat Mengidolakan Sesuatu
Pengelolaan ekspektasi dan emosi saat mengidolakan seseorang memerlukan kesadaran diri yang tepat. Praktik mindfulness merupakan salah satu cara efektifnya.
Mindfulness dapat membantu kita untuk tetap sadar akan perasaan dan reaksi kita tanpa terbawa arus. Dengan kesadaran ini, kita menjadi lebih objektif dalam menilai seseorang dan menghindari idealisasi berlebihan yang dapat mengantarkan ke gerbang kekecewaan dan frustasi.
Membangun jarak emosional yang sehat juga merupakan salah satu langkah penting dalam mengelola ekspektasi dan emosi. Pahami bahwa idola kita merupakan manusia biasa dengan kelemahan dan potensi membuat kesalahan layaknya seorang manusia biasa. Menyadari hal ini membantu kita untuk melihat mereka dengan perspektif yang lebih seimbang.
Perlahan kita perlu menerapkan batasan waktu dan keterlibatan dengan media yang menampilkan hal yang terlalu menyilaukan. Maka kemudian proses mengagumi seseorang hanya akan membawa kita ke hal-hal positif.
Bonusnya, kita juga dapat menjaga kesehatan mental dan emosi kita dengan lebih baik. Tentunya sambil tetap menikmati inspirasi yang mereka berikan tanpa kehilangan keseimbangan pribadi.
(efp/az)