Dewan Pertimbangan Agung Dibangkitkan, Kekuasaan Presiden Semakin Diagungkan
GEMAGAZINE – RUU tentang perubahan atas Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Wantimpres) resmi disahkan menjadi RUU Inisiatif Usul DPR pada rapat paripurna DPR RI ke-22 masa persidangan V tahun sidang 2023–2024 pada Kamis (11/07/2024).
Dalam proses pengesahan RUU ini, sembilan fraksi menyetujui usul untuk penguatan lembaga dengan mengganti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) layaknya pada masa Orde Baru. Lembaga ini bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan kekuasaannya dengan jumlah anggota tak terbatas.
“Perubahan yang ada di sini hanya terkait dengan perubahan nomenklatur (penamaan), yang tadinya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), sekarang menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA),” jelas Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas. Dilansir dari Gemagazine pada Selasa (30/07/2024).
Meski telah disetujui oleh sembilan fraksi, perubahan Wantimpres menjadi DPA ini mendapatkan catatan dari fraksi PDI-Perjuangan. PDI-Perjuangan menilai perlu adanya perhitungan aspek kemampuan fiskal pemerintahan dalam pembiayaan kelembagaan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota DPA yang berbeda dengan Wantimpres. DPA tidak memiliki batasan jumlah anggota, artinya presiden bebas menentukan jumlah anggota DPA ke depannya.
Perubahan Wantimpres menjadi DPA ini menuai berbagai polemik dari masyarakat Indonesia. Melihat ketentuan anggota yang tak terbatas, masyarakat khawatir kembalinya DPA akan melanggengkan kekuasaan presiden.
Kehadiran Dewan Pertimbangan Agung Bertentangan dengan Dewan Pertimbangan Presiden
DPA sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pelaksanaannya diatur dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1967 sebelum digantikan dengan Wantimpres yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres. Dilansir dari Gemagazine pada Selasa (30/07/2024).
Melalui RUU Wantimpres Inisiatif Usul DPR RI, DPA bangkit kembali. Kebangkitan DPA ini kerap dibandingkan dengan Wantimpres yang sudah melaksanakan tugasnya selama 17 tahun.
Kekhawatiran masyarakat pun muncul, menimbang posisi DPA yang justru merusak tatanan pemerintahan pada masa Orde Baru. Pada era Orde Baru, kehadiran DPA dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan presiden.
Berbeda dengan Wantimpres, DPA memiliki kedudukan yang setara dengan presiden. Kedudukan yang sama ini semakin meluaskan kekuasaan DPA dalam memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.
Kursi DPA diisi oleh tokoh masyarakat, tokoh nasional, tokoh daerah, dan tokoh golongan profesional dengan jumlah yang tak terbatas, sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1967 tentang DPA.
Hal ini bertentangan dengan Wantimpres yang hanya memiliki sembilan anggota dengan satu anggota merangkap sebagai ketua. Dengan begitu, pengeluaran anggaran terhadap kelembagaan negara akan lebih ringan dibandingkan dengan DPA.
Di lain sisi, keanggotaan DPA di era Orde Baru dipenuhi oleh mantan pejabat sipil dan militer yang telah memasuki masa pensiun. Atas ketidaksesuaian tersebut, DPA kerap kali disebut sebagai “Dewan Pensiunan Agung” oleh masyarakat.
DPA dianggap tidak memiliki fungsi sebagaimana yang diinginkan ketika dibentuk. Keberadaannya sebagai lembaga tinggi negara dianggap tidak efisien karena pertimbangan yang diberikan tidak pernah dipergunakan dalam keputusan presiden. Dilansir dari Gemagazine pada Selasa (30/07/2024).
Atas tindakan tersebut, posisi DPA tidak menjadi urgensi dalam sebuah kelembagaan negara. Eksistensinya dianggap hanya sebagai formalitas sebab tak dapat menjalankan tugasnya dalam memberikan nasihat serta pertimbangan kepada presiden.
Pada masa DPA dibentuk, presiden lebih banyak membuat keputusan atas pertimbangannya sendiri dibandingkan menimbang keputusan yang telah disepakati dan disarankan oleh DPA.
Birokrasi Dewan Pertimbangan Agung yang Lamban
Birokrasi DPA dianggap cukup lamban. Mekanisme pertimbangan oleh DPA harus melalui prosedur pembahasan dalam pengambilan putusan sidang DPA sebelum dapat disampaikan langsung kepada presiden. Dilansir dari Gemagazine pada Selasa (30/07/2024).
Birokrasi tersebut tentu memperlambat kerja presiden. Terlebih ketika presiden tengah dalam keadaan genting dan membutuhkan nasihat secepatnya, DPA tak dapat menghasilkan pertimbangannya saat itu juga.
Keputusan presiden yang seharusnya diimbangi dengan kehadiran lembaga yang dibentuk untuk membantu presiden, justru memiliki realita yang berbanding terbalik. Apalagi jika keputusan yang harus dibuat menyangkut seluruh warga negara Indonesia, presiden tak mungkin membuat keputusannya sendiri.
Keputusan DPA juga bersifat tidak terikat dengan presiden. Jadi, melalui tahapan yang rumit dan lama, presiden tetap berhak untuk menolak hasil putusan sidang. Hal tersebutlah yang membuat DPA tidak efektif.
Wantimpres yang kini mengalami perubahan justru memiliki birokrasi yang lebih efektif. Wantimpres dapat langsung memberikan pertimbangannya jika presiden membutuhkan.
Ketidakefektifan DPA membuat para presiden yang pernah memimpin Indonesia lebih memilih untuk mengambil keputusan sendiri. Jika harus menunggu DPA, akan menghabiskan waktu yang lama.
Salah satu contohnya adalah Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Presiden keempat yang terkenal dengan gelar kyainya tersebut enggan mendengarkan putusan DPA dan memilih untuk mendengarkan pendapat para ulama.
Tak hanya Gus Dur, Presiden Soeharto juga menolak kehadiran DPA. Pada masanya, DPA hanyalah perwakilan dari para pensiunan pejabat yang sudah habis masa periodenya.
Oleh sebab itu, banyak keputusan presiden pada masa itu yang dihasilkan tanpa melalui pertimbangan lembaga tinggi negara. Dengan demikian, banyak campur tangan pribadi yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan.
(sa/vmg)