FOTO: Freepik.com

GEMAGAZINE – Dalam beberapa dekade terakhir, kebangkitan populisme telah menjadi salah satu fenomena politik yang paling menonjol dan mengkhawatirkan. Perkembangan teknologi digital, terutama media sosial, memainkan peran penting dalam mempercepat dan menyebarluaskan paham populis ini. Pesan populis kini dapat dengan cepat menyebar melalui platform digital, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, yang dapat menjangkau audiens secara luas dan melampaui batas geografis sehingga menjadi tren global. Perkembangan ini memudahkan para pemimpin populis untuk membangun basis massa yang solid dan meraih dukungan politik dengan lebih efisien.Fenomena kebangkitan populisme yang dipengaruhi oleh media sosial tidak dapat dipisahkan dari beberapa isu krusial yang menyertainya. Disinformasi yang cepat menyebar melalui media sosial membentuk opini publik dan memfasilitasi polarisasi serta echo chambers, yang menghambat dialog konstruktif. Meskipun media sosial meningkatkan partisipasi politik, hal ini juga dapat mengurangi kepercayaan pada institusi tradisional. Artikel ini akan membahas pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kebangkitan populisme di era digital dan dampaknya pada dinamika politik dan sosial.

Media Sosial dan Pengaruhnya Terhadap Narasi Populis

Media sosial telah menjadi platform utama bagi banyak individu untuk mengekspresikan pandangan politik mereka dan berinteraksi dengan orang lain. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram memungkinkan pesan populis menyebar dengan cepat. Pesan yang sebelumnya terbatas pada lingkup lokal, kini dapat menjangkau audiens global dalam hitungan detik. Media sosial memberikan ruang bagi para pemimpin populis untuk membangun narasi yang menarik bagi publik, menggunakan bahasa yang sederhana dan emosional sehingga mudah diterima dan dibagikan.

Media sosial juga telah menjadi tempat subur bagi penyebaran disinformasi yang sering digunakan oleh gerakan populis untuk membentuk opini publik. Disinformasi atau informasi yang sengaja dipalsukan dapat memperkuat keyakinan yang sudah ada dan memanipulasi persepsi publik. Dengan algoritma yang dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian, berita palsu sering kali mendapatkan eksposur lebih luas daripada berita yang diverifikasi. Hal ini mengakibatkan banyak individu terjebak dalam narasi yang salah, yang pada gilirannya dapat memperkuat pandangan populis.

Populisme telah menjadi fenomena politik global yang signifikan di era digital yang makin terhubung. Media sosial memainkan peran penting dalam memperkuat narasi populis dan memengaruhi persepsi politik masyarakat. Pemimpin populis dapat menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan mereka secara langsung kepada audiens yang lebih luas, memperkuat identitas mereka, menekankan isu kontroversial, dan mendapatkan dukungan emosional. Namun, media sosial juga dapat menyebabkan penyebaran informasi palsu atau menyesatkan yang meningkatkan polarisasi politik dan perpecahan sosial​. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Dinamika Populisme di Era Digital: Pengaruh Media Sosial Terhadap Pemikiran Politik Masyarakat.

Mengurai Dampak Media Sosial Terhadap Polarisasi dan Partisipasi Politik

Penggunaan media sosial yang intensif dapat menyebabkan polarisasi, di mana masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Echo chambers atau ruang gema merupakan fenomena di mana individu hanya berinteraksi dengan informasi yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri, untuk memperkuat keyakinan mereka tanpa tantangan dari sudut pandang alternatif. Hal ini membuat perbedaan politik makin tajam dan sulit untuk diatasi karena masing-masing pihak merasa benar dan tidak mau mendengarkan pihak lain.

Di sisi lain, media sosial telah menjadi alat yang ampuh untuk mobilisasi dan partisipasi politik. Platform ini memudahkan individu untuk terlibat dalam diskusi politik, berpartisipasi dalam kampanye, dan memobilisasi aksi massa. Dalam konteks populisme, media sosial digunakan untuk menggerakkan pendukung dan menciptakan gerakan akar rumput yang kuat. Kemudahan akses informasi dan komunikasi instan membuat organisasi politik dapat meraih dukungan dengan cepat dan efisien.

Media sosial memberikan dampak signifikan pada pemikiran politik masyarakat. Dengan kebebasan menyampaikan ide, pengguna media sosial menjadi lebih kritis terhadap berita dan isu yang muncul. Namun, media sosial juga dapat disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar, yang dapat mengganggu proses demokrasi. Populisme digital dapat memperluas audiens dan meningkatkan risiko penyebaran informasi palsu, yang dapat memperkuat instabilitas politik dan perpecahan atau meningkatkan keterlibatan politik jika dimanfaatkan dengan baik​. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Dinamika Populisme di Era Digital: Pengaruh Media Sosial Terhadap Pemikiran Politik Masyarakat.

Krisis Kepercayaan kepada Institusi Tradisional dan Kebangkitan Populisme di Era Digital

Di era digital, krisis kepercayaan terhadap institusi tradisional seperti pemerintah, media massa, dan lembaga-lembaga lainnya makin mengemuka. Banyak orang merasa bahwa institusi-institusi tersebut tidak lagi mampu mewakili kepentingan mereka atau memberikan solusi yang efektif terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Ketidakpuasan ini menjadi salah satu faktor pendorong kebangkitan populisme, di mana para pemimpin populis menawarkan alternatif yang lebih langsung dan dianggap lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Media sosial menjadi alat yang sangat efektif bagi para pemimpin populis untuk menjangkau dan berkomunikasi dengan masyarakat secara langsung, melewati saluran-saluran komunikasi tradisional yang sering kali dianggap bias dan tidak mewakili suara rakyat. Dengan menggunakan media sosial, mereka dapat menyampaikan pesan-pesan yang menggemakan perasaan frustrasi dan ketidakpuasan publik, menciptakan narasi yang memisahkan “kita” sebagai rakyat biasa dengan “mereka” sebagai elite politik dan ekonomi yang dianggap tidak peduli.

Narasi “kita vs mereka” ini memperkuat polarisasi dalam masyarakat dan memperdalam ketidakpercayaan terhadap institusi tradisional. Pemimpin populis sering kali menyebut elite sebagai musuh bersama, menggalang dukungan dengan menekankan bagaimana mereka berjuang melawan sistem yang dinilai korup dan tidak adil. Hal ini makin memperburuk krisis kepercayaan terhadap institusi karena masyarakat makin terpecah dan cenderung mencari solusi di luar struktur-struktur tradisional yang ada.

Era digital telah mengaburkan batas antara elite dan massa dalam konteks politik. Populisme memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan wacana populis dan memobilisasi massa. Meskipun populisme populer, diskusi tentang fenomena ini masih jarang di masyarakat. Untuk mengatasi populisme digital, diperlukan strategi komprehensif yang mencakup pengendalian platform digital, pendidikan publik, dan pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu yang dihadapi masyarakat​. Dilansir Gemagazine Dinamika Populisme di Era Digital: Pengaruh Media Sosial Terhadap Pemikiran Politik Masyarakat.

 

(nns/vmg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *