Dampak Perubahan Iklim terhadap PDB: Menurut Sri Mulyani

0

Foto: Setya Wahyu Pradana/GEMAGAZINE

GEMAGAZINE – Perubahan iklim telah menjadi topik hangat dalam diskusi ekonomi global, termasuk di Indonesia. Dapat dilihat bahwa fenomena ini memiliki pengaruh signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, bahkan perekonomian. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga merasakan dampak perubahan iklim yang semakin nyata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara.

Data World Meteorological Organization (WMO) menunjukkan bahwa tahun 2023 menjadi tahun dengan suhu terhangat dengan kenaikan suhu global mencapai 1,45 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa pemanasan global ini dapat  membawa dampak besar dan sistematik terhadap perekonomian jika tidak diatasi dengan benar.

Proyeksi Penurunan PDB Akibat Perubahan Iklim

Perubahan iklim tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sri Mulyani Indrawati, telah menyoroti potensi konsekuensi yang serius dari fenomena ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara kita.

Berdasarkan studi yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan PDB Indonesia hingga 10% pada tahun 2025. Angka ini sungguh mengkhawatirkan dan menunjukkan betapa seriusnya ancaman perubahan iklim terhadap perekonomian Indonesia.

Kerugian dari perubahan iklim ini dapat dilihat di beberapa sektor, seperti sektor kelautan dan pesisir (Rp81,82 triliun), sektor pertanian (Rp29.94 triliun), sektor sumber daya air (Rp7,29 triliun), dan sektor kesehatan (Rp6,48 triliun). Angka-angka ini menunjukkan bahwa sektor kelautan dan pesisir akan mengalami dampak paling besar, diikuti oleh sektor pertanian. Hal ini tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang bergantung pada sektor-sektor tersebut.

Jika penurunan PDB sebesar 10% itu terjadi, konsekuensi yang diterima dapat melebihi dari sekadar angka-angka ekonomi tersebut. Sri Mulyani menekankan bahwa hal ini akan sangat memengaruhi upaya kita untuk mengatasi kemiskinan.

Perubahan iklim berpotensi memperburuk kondisi masyarakat miskin dan rentan miskin. Beberapa dampak yang diperkirakan, seperti nelayan dan petani akan menghadapi cuaca ekstrem yang dapat mengurangi hasil tangkapan dan panen, serta kesulitan menyesuaikan waktu panen dengan perubahan cuaca ekstrem yang dapat meningkatkan risiko gagal panen. Selain itu, akses terhadap air bersih akan semakin sulit, terutama bagi kelompok miskin dan rentan miskin.

Perubahan iklim mengakibatkan pergeseran curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah. Hal ini berdampak langsung terhadap pola produksi dan hasil panen. Selain itu, peningkatan intensitas bencana alam juga mempersulit kegiatan pertanian di desa.

Risiko Kerusakan Infrastruktur dan Biaya Perbaikan

Risiko kerusakan infrastruktur akibat perubahan iklim tersebut menjadi salah satu dampak serius yang perlu dihadapi Indonesia. Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana alam di Indonesia. Sepanjang tahun 2023, negara kita mengalami 4.938 bencana alam. Tiga bencana yang paling mematikan adalah kebakaran hutan dan lahan sebanyak 1.802 kejadian, banjir sebanyak 1.168 kejadian, dan cuaca ekstrem sebanyak 1.155 kejadian.

Dampak dari bencana-bencana ini sangat signifikan. Tercatat bahwa sedikitnya 265 orang meninggal, 33 orang hilang, dan 5.783 orang mengalami luka-luka. Lebih lanjut, sekitar 8,85 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan tempat tinggal mereka.

Terlihat juga adanya anomali cuaca yang semakin ekstrem. Pada September 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu harian mencapai 38 derajat celsius di beberapa kota di Indonesia. Hal ini tidak hanya membuat cuaca terasa lebih panas, tetapi juga berdampak pada kesehatan masyarakat, menyebabkan kelelahan dan dehidrasi yang lebih cepat.

Perubahan iklim telah menyebabkan kerusakan infrastruktur yang signifikan. Cuaca ekstrem dan bencana alam seperti hujan badai, banjir, dan kebakaran hutan telah mengakibatkan kerusakan berat pada infrastruktur, termasuk jalanan, jaringan listrik, dan bangunan.

Biaya perbaikan infrastruktur ini sangatlah besar. Menurut kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diperkirakan dapat mencapai Rp544 triliun selama 20202024 jika tidak ada intervensi kebijakan.

Terlihat juga dampak bencana pada sektor energi. Sebagai contoh, saat banjir menerjang Jakarta beberapa tahun lalu, sejumlah pembangkit listrik turut terendam. Kerugian yang dialami Perusahaan Listrik Negara (PLN) diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Selain itu, infrastruktur yang ada sering kali tidak siap menghadapi konsekuensi perubahan iklim. Bangunan, jembatan, dan jalanan mungkin tidak dirancang untuk menahan tekanan cuaca ekstrem yang dapat mengakibatkan kerugian besar.

Upaya Mitigasi dan Kebutuhan Investasi untuk Perubahan Iklim

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi emisi karbon demi tercapainya Net Zero Emission pada tahun 2060 atau secepatnya. Komitmen ini diwujudkan melalui ratifikasi Perjanjian Paris yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, tentang komitmen untuk mencapai target penurunan emisi melalui Nationally Determined Contributions (NDCs).

Pada awalnya, target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) adalah sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030. Namun, pada tahun 2022, target tersebut direvisi sebagaimana tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Target penurunan emisi dinaikkan menjadi 31,89% tanpa syarat dan 43,20% bersyarat.

Untuk mempercepat transisi energi menuju energi bersih membutuhkan dana dengan jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, upaya transisi energi di Indonesia memerlukan dukungan dari investor untuk menanamkan modalnya dalam mengoptimalkan energi bersih di Indonesia.

Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, menyatakan ada sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan dalam program transisi energi. Peluang tersebut adalah menarik investasi masuk sebanyak mungkin untuk pengembangan energi terbarukan. Diperkirakan akan ada penambahan kapasitas terpasang listrik di Indonesia sebesar 80 gigawatt (GW) dan 75% dari energi baru dan terbarukan, sisanya berbasis gas hingga tahun 2040 nanti. Transmisi yang dibutuhkan sepanjang 47.000 kilometer. Semuanya membutuhkan investasi sebesar USD 152 miliar.

Dalam mewujudkan peta jalan transisi energi di Indonesia, dibutuhkan kebijakan untuk menciptakan ekosistem yang baik dalam investasi energi bersih. Salah satunya adalah dengan membebaskan persyaratan lokal konten untuk proyek-proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) yang didanai melalui pinjaman atau hibah luar negeri.

Telah ditetapkan juga bahwa pembangunan pembangkit listrik setelah tahun 2030 hanya akan berasal dari sumber EBT. Diproyeksikan pada tahun 2060, kapasitas terpasang pembangkit EBT akan mencapai 350GW dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) akan meningkat secara signifikan mulai tahun 2030.

 

(izni/sh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *